Jumat, 20 Juli 2007

Peningkatan Kualitas Mutu Pendidikan

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Ini di buktikan antara lain dengan data UNESCO pada tahun 2000 tentang peringkat Indeks pembangunan manusia ( Human Develelopment Indeks) yaitu komposisi dari peringkat dari pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa Indeks pembangunan manusia Indonesia ( Human Develelopment Indeks) makin menurun. Diantara 174 negara di dunia Indonesia menempati urutan ke 102 pada tahun 1996, ke 99 pada tahun 1997, ke 105 pada tahun 1998, dan 109 pada tahun 1999.
Kualitas pendidikan di Indonesia yang rendah itu juga di tunjukkan data Balitbang tahun 2003 bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya 8 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program. Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya 8 sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program. Dan dari 8.036 SMA ternyata hanya 7 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategiri The Diploma Program.
Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam negeri dan isu-isu mutakhir dari luar negeri yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia merupakan hal-hal yang harus segera ditanggapi dan dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum baru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pertama, dengan diluncurkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang baru telah membawa implikasi terhadap paradigma pengembangan kurikulum pendidikan dasar dan menengah antara lain pembaharuan dan diversifikasi kurikulum, serta pembagian kewenangan pengembangan kurikulum. Kedua, dengan perkembangan dan perubahan global dalam berbagai aspek kehidupan yang datang begitu cepat telah menjadi tantangan nasional dan menuntut perhatian segera dan serius. Ketiga, dengan kondisi masa sekarang dan kecenderungan di masa yang akan datang perlu dipersiapkan generasi muda termasuk peserta didik yang memiliki kompetensi yang multidimensional.Keempat, dengan mengacu pada ketiga hal tersebut maka pengembangan kurikulum masa sekarang harus dapat mengantisipasi persoalan-persoalan yang mempunyai kemungkinan besar sudah dan/atau akan terjadi. Kurikulum yang dibutuhkan di masa yang akan datang yaitu kurikulum yang berbasis kompetensi. Kompetensi dikembangan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenenentuan, ketidakpastian, dan kerumitan-kerumitan dalam kehidupan. Kurikulum berbasis kompetensi ditujukan untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun identitas budaya dan bangsanya. Kurikulum ini dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan, keterampilan, pengalaman belajar yang membangun integritas sosial, serta membudayakan dan mewujudkan karakter nasional.
Dengan kurikulum yang demikian dapat memudahkan guru yaitu:
belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar menjadi diri sendiri,
dan belajar hidup dalam kebersamaanMempersiapkan peserta didik yang memiliki berbagai kompetensi pada hakikatnya merupakan upaya untuk menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan intelektual, emosional, spiritual, dan sosial yang bermutu tinggi. Dengan memiliki kompetensi semacam itu, peserta didik diharapkan mampu untuk menghadapi dan mengatasi segala macam akibat dari adanya perkembangan dan perubahan yang terjadi
B. Permasalahan
Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia itu? Maknanya jelas ada masalah dalam sistem pendidikan di Indonesia . Masalahnya antara lain :
1. Masalah Kurikulum
2. Masalah Metode pembelajaran
3. Masalah Fasilitas atau sarana dan prasarana
4. Masalah Guru atau tenaga pendidik.
5. Masalah Evaluasi pembelajaran






BAB II
PEMBAHASAN

A. MASALAH KURIKULUM

Sejak kemerdekaan tahun 1945, kita telah mengenal 10 macam kurikulum, yaitu kurikulum –kurikulum tahun 1947, 1949, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan terakhir 2006. Pergantian kurikulum yang semakin cepat mempengaruhi perubahan politik sehingga dalam waktu 7 tahun setelah merdeka, kita telah menerapkan 3 kurikulum.
Dari segi komponen , kurikulum paling tidak mengandung 5 komponen, yaitu tujuan, materi, metode atau kegiatan belajar, sumber belajar yang terdiri dari alat, bahan, serta komponen penilaian ( evaluasi ). Jika kita menilik dari berbagai jenis kurikulum yang telah diterapkan, maka secara garis besar bahwa ke lima komponen yang tersebut diatas pada dasarnya sudah ada disetiap kurikulum yang pernah diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Namum yang menjadi masalah adalah karena kurikulum tersebut yang bersifat fleksibel, maka pemberlakuan isi kurikulum tersebut memang disesuaikan dengan waktu dan situasi tertentu sesuai dengan tuntutan zaman. Perubahan isi kurikulum inilah yang menjadi masalah, mengingat pemberlakuannya cukup sulit untuk dapat diterapkan serentak secara nasional. Akibatnya hanya wilayah-wilayah tertentu saja yang dapat mengikuti perkembangan kurikulum tersebut, sementara wilayah lain boleh jadi tidak mengenal kurikulum yang sedang diberlakukan, dan tiba-tiba saja sudah ganti kurikulum yang baru.
Secara umum ada beberapa pendekatan perkembangan kurikulum yang pernah diterapkan dalam pengembangan kurikulum yang diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendekatan tersebut antara lain :
1. Dari awal kemerdekaan sampai pertengahan tahun 1960-an pendekatan berbasis materi ( content based approach )
2. Akhir tahun 1960 –an sampai dengan pertengahan tahun1980-an pendekatan berbasis kompetensi ( competence based approach ) dan pendekatan belajar tuntas ( mastery learning approach )
3. Akhir tahun 1980-an sampai dengan awal 1990-an pendekatan berbasis out come ( outcome based approach )
4. tengah tahun1990-an sampai dengan sekarang pendekatan berbasis standar ( standard based approach )
Melihat beberapa pendekatan yang telah dilakukan dalam rangka pembenahan kurikulum tersebut dapat ditarik benang merah bahwa penerapan kurikulum hanyalah perubahan disain isi kurikulum tersebut. Dan inilah masalah yang timbul ketika kita akan menerapkan kurikulum yang disesuaikan dengan tuntutan jaman.

B. MASALAH METODE
Bagaimana guru dapat memotivasi seluruh siswa untuk belajar dan membantu saling belajar satu sama lain ?
Bagaimana guru dapat menyusun kegiatan kelas sedemikian rupa sehingga siswa akan berdiskusi, berdebat, dan menggeluti ide-ide, konsep-konsep, dan ketrampilan-ketrampilan sehingga siswa benar-benar memahami ide, konsef, dan ketrampilan tersebut ?
Bagaimana guru dapat memanfaatkan energi sosial seluruh rentang usia siswa yang begitu besar dalam kelas untuk kegiatan-kegiatan pembelajaran yang aktif ?
Bagaimana guru dapat mengorganisasi kelas sehingga siswa saling menjaga satu sama lain, saling mengambil tanggung jawab satu sama lain, dan belajar untuk menghargai satu sama lain terlepas dari suku, tingkat kinerja, atau ketidakmampuan karena cacat ?
Dan masih banyak lagi masalah-masalah yang timbul dalam proses belajar mengajar. jawabannya adalah seorang guru harus memiliki berbagai macam metode mengajar yang inovatif dan konstruktif.
Berbicara masalah metode pengajaran ini, tentu saja akan banyak mendapatkan masalah, karena kebanyakan guru dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa hanya dengan metode yang klasik yaitu metode ceramah dan tanya jawab saja. Akibatnya proses pembelajaran yang terjadi lebih terpokus pada guru. Sementara siswa kurang aktif.



C. Masalah Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
D. Masalah Guru
Permasalahan tenaga pendidikan dapat di dekati dengan pendekatan macrocosmics. Pendekatan makrokosmics berarti permasalahan guru di kaji dalam kaitannya factor-faktor laindi luar guru. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas guru antara lain :
1. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
2. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya .
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
3). Status guru di masyarakat
Kualitas guru tidak bisa dilepaskan dari kompensasi yang mereka terima dan status guru di masyarakat. Namun, kompensasi atau gaji guru tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi suatu Negara. Artinya, perbandingan gaji guru antar negara akan tidak pas kalau ditimbang kemakmuran bangsa tersebut. Gaji guru di Malaysia lebih besardibandingkan dengan gaji guru di Indonesia, secara absolut. Namun, perbandingan akan berbeda manakala kedua gaji tersebut diperbandingkan akan berbeda manakala kedua gaji tersebut diperbandingkan dengan pendapatan perkapita negara masing-masing. Oleh karena itu , bukan hanya gaji yang penting melainkan bagaimana dukungan masyarakat dan pemerintah bagi kesejahteraan dan status guru.
E. MASALAH EVALUASI
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam komponen kurikulum diatas, bahwa salah satunya adalah terkait dengan masalah evaluasi. Secara umum evaluasi dapat diartikan proses sistematis meliputi pengumpulan informasi ( angka, diskripsi verbal ), analisis, interpretasi informasi untuk mengambil keputusan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk melakukan evaluasi terhadap proses kegiatan belajar mengajar antara lain :
1. Unjuk Kerja (Performance)
2. Penugasan (Proyek / Project)
3. Hasil kerja (Produk / Product)
4. Tes Tertulis (Paper & Pen)
5. Portofolio (Portfolio)
6. Penilaian Sikap
Adapun manfaat dari pelaksanaan evaluasi tersebut adalah :
1. Untuk mengadakan kegiatan remidial
2. Untuk mengadakan kegiatan pengayaan
3. Untuk mengadakan perbaikan program dan kegiatan selanjutnya
Sementara itu ada hal yang perlu diperhatikan ketika kita akan melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang sedang dan telah kita


lakukan yaitu prinsip evaluasi, antara lain :
1. Valid
2. Obyektif
3. Adil
4. Terbuka
5. Bermakna
Berbicara masalah prinsip – prinsip evaluasi ini kadang menimbulkan masalah. Masalah itu antara lain :
a. Terkadang kita sebagai guru kurang memahami apakah instrumen yang kita gunakan untuk melakukan evaluasi tersebut sudah valid atau tidak. Akibatnya hasil evaluasi yang kita lakukan menimbulkan efek yang kurang baik terhadap keputusan yang akan kita ambil terkait dengan hasil evaluasi yang kita lakukan.
b. Sifat objektifitas suatu evaluasi sering larut dengan pertimbangan kemanusiaan terhadap peserta didik. Akibatnya hasil evaluasi tidak menggambarkan prestasi siswa yang sebenarnya.
c. Kurang adilnya guru dalam mengevaluasi peserta didik. Evaluasi yang kita lakukan kadang hanya mengambil aspek-aspek tertentu saja,misalnya hanya aspek knowledgenya saja, sementara aspek afektif dan psikomotoriknya kita abaikan.
d. Seorang guru sering tertutup terhadap hasil evaluasi yang telah dilakukan. Ada sebagian guru kurang senang apabila hasil evaluasi yang dilakukan, siswa dapat menjawab dengan benar semua, sehingga guru tersebut enggan menyampaikan hasil evaluasinya kepada siswa.
e. Seorang guru juga kadang tidak mengerti apa yang hendak ia capai dengan evaluasi yang dia lakukan. Dia hanya sekedar melakukan proses administrasi dalam kegiatan belajar mengajar. Dia tidak mengerti makna sebuah evaluasi itu dilakukan


















BAB III
SOLUSI DAN PEMBAHASAN

A. Solusi masalah mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Ini sangat penting dan utama.
Ibarat mobil yang salah jalan, maka yang harus dilakukan adalah : (1) langkah awal adalah mengubah haluan atau arah mobil itu terlebih dulu, menuju jalan yang benar agar bisa sampai ke tempat tujuan yang diharapkan. Tak ada artinya mobil itu diperbaiki kerusakannya yang macam-macam selama mobil itu tetap berada di jalan yang salah. (2) Setelah membetulkan arah mobil ke jalan yang benar, barulah mobil itu diperbaiki kerusakannya yang bermacam-macam.
Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan, baik itu masalah rendahnya sarana fisik, kualitas guru, kesejahteraan gutu, Kurikulum, kesempatan pemerataan pendidikan, relevansi pendidikan dengan kebutuhan, Metode ,dan evaluasi .
Solusi masalah mendasar itu adalah merombak total asas sistem pendidikan yang ada, dari asas sekularisme diubah menjadi asas memadukan ( terintegrasi ) Imtaq siswa..
Bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan yang terintegrasi. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum
B. Solusi Masalah-masalah cabang
Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar, sistem pendidikan di Indonesia juga mengalami masalah-masalah cabang, antara lain :
(1). Masalah Kurikulum,
(2). Masalah metode mengajar guru,
(3). Masalah kesejahteraan guru,
(4). Masalah fasilitas sarana fisik,
(5). Masalah Evaluasi,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
Untuk mengatasi masalah-masalah cabang di atas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini sebaiknya dipadukan ekonomi yang menggariskan bahwa pemerintah bersama seluruh stakeholder yang bertanggung jawab terhadap pembiayaan pendidikan .
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.

Disamping itu penguasaan guru atas bidang studi yang akan di ajarkan kepada para siswa merupakan sesuatu yang mutlak sifatnya . Sebab dengan materi bidang studi tidak saja guru akan mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada siswa, tetapi lebuh dari pada itu , dengan materi bidang studi itu guru akan menanamkan disiplin, mengembangkan critical thinking, mendorong kemampuan untuk belajar lebih lanjut, dan yang tidak kalah penting adalah menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu pengetahuan itu sendiri pada diri siswa. Penguasaan kemampuan guru di bidang metodologi pengajaran juga penting . Tetapi kemampuan metode dalam pengajaran kalau di wujudkan dalam symbol bagaikan angka “0”. Artinya, betapapun banyak dan tingginya kemampuan metodologi pengajaran tidak memiliki nilai apa-apa, apabila tidak di gabungkan dengan angka lain 1,2,3 dan seterusnya sampai 9 yang merupakan wujud dari kemampuan penguasaan bidang studi. Dalam masalah penguasaan materi bidang studi inilah kelemahan guru sangat menonjol. Suatu studi menunjukkan bahwa penguasaan bidang sudi para guru jika di wujudkan dalam skor , terletak pada titik sekitar 7, dan untuk mata pelajaran matematika dan IPA lebih rendah lagi.
Rendahnya penguasaan guru pada bidang studi tidak lepas dari kualitas pendidikan guru dan rekruitmen calon guru. Dapat dicatat bahwa selama ini terdapat tiga bentuk kurikulumyang mencerminkan fase pemikiran di lingkungan lembaga pendidikan guru. Fase pertama ditunjukkan dengan kurikulum pendidikan guru ( IKIP, FKIP, dan STKIP) sebelum kurikulum IKIP 1984. Pada kurun waktu tersebut kurikulum pendidikan guru tidak jauh berbeda dengan kurikulum jurusan yang sama di universitas. Perbedaannya adalah pada mahasiswa pendidikan guru di samping memiliki bekal bidang studi yang memadai, juga ditambah dengan beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan didaktik khusus. Pada waktu di berlakukannya kurikulum pendidikan guru 1994, terjadi perubahan yang mendasar. Mahasiswa pendidikan guru harus lebih menekankan pada metode mengajar di bandingkan dengan penguasaan materi bidang studi.
Kualitas guru tidak bisa dilepaskan dari kompensasi yang mereka terima dan status guru di masyarakat. Namun, kompensasi atau gaji guru tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi suatu Negara. Artinya, perbandingan gaji guru antar negara akan tidak pas kalau ditimbang kemakmuran bangsa tersebut. Gaji guru di Malaysia lebih besar dibandingkan dengan gaji guru di Indonesia, secara absolut. Namun, perbandingan akan berbeda manakala kedua gaji tersebut diperbandingkan akan berbeda manakala kedua gaji tersebut diperbandingkan dengan pendapatan perkapita negara masing-masing. Oleh karena itu , bukan hanya gaji yang penting melainkan bagaimana dukungan masyarakat dan pemerintah bagi kesejahteraan dan status guru.
Kualitas guru tidak dapat lepas dari manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan yang sentralitis, dengan menempatkan pengambilan keputusan yang tidak menguntungkan bagi usaha meningkatkan kualitas kerja guru. Oleh karena itu keputusan tentang bagimana proses belajar mengajar harus di laksanakan yang di tentukan dari atas sulit untuk dapat diterima akal sehat. Sebab, justru guru yang paling tahu apa yang harus di lakukan. Pemberian otonomi yang lebih besar kepada guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar akan memberi rasa tanggung jawab lebih besar kepada guru. Rasa tangung jawab ini mutlak diperlukan dalam meningkatkan kualitas guru.
Dengan pendekatan microcosmics dapat di deskripsikan bahwa keberhasilan guru sangat tergantung pada kemampuan dan dedikasi guru di satu fihak motivasi dan usaha keras dari siswa di fihak lain. Oleh karena itu , guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar harus mampu membangkitkan semangat untuk berprestasi di kalangan siswa. Menurut Boediono ( 1997) terdapat 8 kelompok guru :
1. Ekonomi cukup, mampu dan dedikasi tinggi
2. Ekonomi cukup, mampu, tetapi tidak memiliki dedikasi.
3. Ekonomi cukup, kurang mampu dan tetapi memiliki dedikasi tinggi.
4. Ekonomi cukup, tidak mampu dan tidak memiliki dedikasi
5. Ekonomi kurang, tetapi mampu dan penuh dedikasi.
6. Ekomomi tidak mampu , tetapi mampu, dan tidak memiliki dedikasi
7. Ekonomi kurang, tidak mampu tetapi memiliki dedikasi tinggi
8. Ekonomi kurang, tidak mampu dan tidak memiliki dedikasi.


Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

2 komentar:

Abror IRM Medan mengatakan...

terkadang kenyataan tidak sesuai dengan harapan yang terjadi. Lagi- lagi kita tidak mampu menularkan apa yang menjadi buah pikiran kita untuk kebaikan pendidikan di negeri ini. Semoga saja ada pejabat kita yang tersentuh dengan apa yang kita / guru- guru keluhkan selama ini

Nara D. Luffy mengatakan...

tulisan ilmiah anda ya??
boleh tahu secara lengkap judul dan daftar pustakanya, sebagai bahan pustaka saya :) terimakasih sebelumnya..