Jumat, 20 Juli 2007

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

Kurikulum Satuan Pendidikan
Sejumlah sekolah mulai berusaha menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengacu pada Standar Isi yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan. Sosialisasi dan pelatihan-pelatihan pun mulai diselenggarakan.
Namun, sejauh ini guru dan sekolah sebagai pelaksana masih meraba-raba penerjemahan kurikulum tersebut. Mereka juga khawatir kekurangan buku pegangan sebagai bahan ajar.
Hasil pantauan ke sejumlah sekolah di Jakarta, pekan lalu, menunjukkan bahwa kesulitan dan kerumitan itu terutama dirasakan oleh guru di sekolah yang tidak sempat merasakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Tiba-tiba kini mereka diarahkan menjalankan kurikulum tingkat satuan pendidikan.

Belum diterapkan
Selaku Kepala SD Negeri dan swasta belum menerapkan KBK ini ,namun ada beberapa Kepala Sekolah mengaku sudah mendapatkan penjelasan terkait dengan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Begitu pun sejumlah guru dan kepala sekolah yang ditemui terpisah.
“Ada kepala sekolah sempat ikut sosialisasi yang diadakan Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat. Informasinya, di Jakarta pelaksanaan penuh kurikulum tingkat satuan pendidikan mulai tahun ajaran 2007. Akan tetapi, sekolah kami sendiri berkeinginan untuk memulai pelaksanaan kurikulum tersebut pada semester dua tahun ajaran ini supaya sekaligus mempraktikkan penggunaannya.
Dengan adanya kurikulum tingkat satuan pendidikan itu, nantinya setiap sekolah mempunyai kurikulum berbeda-beda. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) hanya memberikan standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk tiap mata pelajaran, sebagaimana tertuang dalam Standar Isi yang sudah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.
Bagi guru-guru di SD Negeri /swasta, perubahan itu cukup menyulitkan mengingat selama ini mereka menggunakan Kurikulum 1994. Sebaliknya, bagi sekolah yang telah menerapkan Kurikulum 2006—lebih dikenal sebagai KBK, kesulitan yang mereka rasakan tidak terlalu besar.
Seorang guru kelas VI SD Negeri, mengakui hal itu. Kalau pada Kurikulum 1994 materi yang akan disampaikan pada tiap mata pelajaran telah dirinci secara detail, pada kurikulum tingkat satuan pendidikan ternyata tidak demikian.
“Yang ada hanya standar kompetensi dan kompetensi dasar sehingga ada yang menyebutnya kurikulum dua kolom. Materi yang akan disampaikan selama satu semester, indikator, dan bahan ajar harus dirancang sendiri oleh sekolah dan guru.
Sebaliknya, bagi guru di SD, yang sebelumnya telah menjalankan KBK. Ia mengaku lebih mudah beradaptasi dengan model kurikulum baru tersebut. Waktu menjalankan KBK, kata seorang guru bahkan telah belajar mengembangkan indikator-indikator pembelajaran dan menyusun langkah-langkah belajar.
Menurut Ketua Federasi Guru Independen Indonesia Suparman, kurikulum tingkat satuan pendidikan membutuhkan pemahaman dan keinginan sekolah untuk mengubah kebiasaan lama, yakni terlalu bergantung pada birokrasi.

Seorang Guru Cari Peluang .
Ketika guru-guru masih sibuk dengan program sosialisasi, langkah maju justru terjadi di salah satu Kota. Guru- guru telah mendeklarasikan penggunaan kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk tahun ajaran 2006/2007.
Penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan satu peluang bagi sekolah untuk mengurus diri sendiri, tidak hanya untuk manajemen sekolah, tetapi juga secara akademis.
Hanya saja, diakuinya bahwa penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan perlu proses karena sudah terlalu lama sekolah diatur oleh pemerintah. Sekolah butuh sosialisasi dan proses pengalaman. “Pelatihan-pelatihan sudah ada, namun lebih banyak digagas oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran alias MGMP.

Pemerintah Revisi Kurikulum Berbasis Kompetisi
Beberapa sekolah Belum semua melaksanakan Kurikulum berbasis kopetensi (KBK Berita terakhir yang diterima adalah, Pemerintah akan segera merevisi Kurikulum Berbasis Kompetensi dan segera menerbitkan kurikulum baru karena KBK dinilai malah memperberat tugas guru karena membebani guru dengan urusan administratif. Penulisan rapor yang terlalu rumit membuat guru tidak maksimal dalam mengajar.
Selanjutnya pemerintah menyiapkan kurikulum baru yang nantinya ada standar kompetensi lulusan (SKL) sehingga tiga ujian yang akan menentukan kelulusan seorang siswa, yaitu ujian guru, ujian sekolah (US) dan ujian nasional (UN). Kalau UN lulus, tapi US dan ujian guru tidak lulus, siswa yang bersangkutan dinyatakan tidak lulus. Guru menyelenggarakan ujian untuk kelompok mata pelajaran kepribadian, estetika, pendidikan agama, dan pendidikan jasmani/kesehatan. US untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan UN tetap untuk tiga mata pelajaran yakni matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.
Bila melihat seperti apa kurikulum baru pengganti KBK nanti bukankah akan menambah kebingunan dan kesulitan bagi guru dan juga sekolah nantinya? Dan akhirnya berdampak pada masyarakat dalam hal ini orang tua dan siswa.
Sekolah direpotkan dengan adanya tiga ujian yang akan menentukan kelulusan seorang siswa, yaitu ujian guru, ujian sekolah (US) dan ujian nasional (UN). Otomatis siswa juga akan semakin dihantui perasaan kegagalan karena harus menyiapkan tenaga ekstra menghadapi berbagai ujian yang akan dihadapi. Guru pun semakin dipersulit karena harus menyiapkan pada tugas administratif seperti membuat soal ujian dan otomatis menyeleksinya selain tugas utamanya mengajar yang sudah sangat menyita waktunya.
Sebenarnya menurut saya KBK atau kurikulum apapun itu bagus KALAU semua pihak berperan sebagaimana mestinya. Guru janganlah dibebankan urusan administrasi dan evaluasi. Biar fungsi itu ada pada guru bidang media dan kurikulum (seperti guru BP tapi dia bertanggung jawab pada urusan media dan kurikulum sekolah). Sebab sudah ada jurusan KURIKULUM dan TEKNOLOGI PENDIDIKAN di hampir semua kampus penghasil tenaga kependidikan (baca: ex IKIP dan UPI yang sampai kini perannya belum jelas di dalam sistem pendidikan dan persekolahan).
Saya melihat seharusnya fungsi sekolah seperti rumah sakit, ketika pasien datang ke Unit Gawat Darurat sudah ada perawat, dokter, dikter bedah, ahli anastesi, apoteker yang menangani. Dokter tidak akan melakukan bedah sendiri atau anastesi sendiri karena ada yang bertanggung jawab atas itu. Begitu juga guru, SEHARUSNYA tidak bertanggung jawab terhadap tugas membuatan media, administrasi dan evaluasi karena sudah ada yang bertanggung jawab atas itu.
Sehingga mau seperti apapun kurikulum yang akan dipakai, bila sistem yang akan menanganinya sudah jelas dan tidak bertumpu pada tugas guru saja. Karena permasalahannya bukan pada kururikulum apa yang akan dipakai tapi seberapa besar wewenang dan tanggung jawab guru dalam mengajar, dan seyogyanya guru tak lagi direpotkan dengan tugas pembuatan media, administrasi, dan evaluasi. Guru tinggal hanya mengembangkan gagasan-gagasannya saja selanjutnya dibuat kongkrit oleh para pembuat, administrator, dan evaluator.



Telaah Kritis Dalam Kurikulum 2006

Jakarta (Indonesia media: 04/10/06) Peraturan Pendidikan Nasional Menteri/Pelayan No 22/2006 di Education Content Standard (dan No 23/2006 di Graduates Competency Standard /SKL) perkenalkan Education Unit Curriculum (KTSP) di Indonesia. Seperti secara luas melaporkan, peluncuran awal-awal National Education Ministry KTSP atau lebih baik dikenal sebagai 2006 kurikulum di dalam 2006/2007 tahun akademi. Kurikulum ini memberi otonomi lebih luas untuk masing-masing sekolah untuk mengembangkan kurikulum mereka sendiri dengan ke dalam pelanggan potensi-potensi dari sekolah-sekolah dan daerah sekitarnya

Jauh dari perbaikan ulang KTSP, kurikulum yang baru secara operasional dibentuk/mapan dan yang diterapkan oleh masing-masing kesatuan pendidikan, di mana patokan-patokan petunjuk dan evaluasi masih centralistic. Ini berarti, pada hakekatnya perubahan kurikulum tidak berarti apapun untuk otonomi pendidikan. Roh anti-empowerment masih kuat karena otoritas untuk mempersiapkan kebijakan-kebijakan masih di tangan-tangan pejabat-pejabat National Education Ministry dari tingkatan pusat ke tingkatan yang regional, bukan dalam kekuasaan sekolah-sekolah. Perubahan tidak sungguh-sungguh ini hanya mengacaukan pemilik-pemilik pancang pendidikan. Belum lagi menetapkan suatu kurikulum, menerapkan kurikulum yang ada telah suatu tugas yang berat. Oleh karena itu, banyak orang memanggil(hubungi KTSP sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai (bukan kurikulum ready-to-wear).

Menurut Beane (1986), kurikulum di dalam istilah yang sempit berarti, daftar tunduk kepada diajar kepada para siswa, selagi di dalam perasaan(pengertian yang lebih luas, ke samping dari menjadi daftar tunduk kepada diajar kepada para siswa, aktivitas pelajaran [alat; makna] kurikulum dan belajar pengalaman untuk para siswa.

godaan-godaan Pendidikan centralistic sudah menjadi suatu gagasan pendidikan penyusutan virus dan kreativitas kesatuan di dalam mengembangkan potensi-potensi diri sendiri. Di suatu konteks yang serupa, angin dari perubahan juga terjadi di dalam lingkup pendidikan nasional.

Ironisnya, hanya para guru dari sekolah-sekolah yang dikasihi bahwa menerima penjelasan-penjelasan mengenai 2006 kurikulum. Itu para guru diharapkan untuk memindahkan pengetahuan mereka atas kembali ke daerah-daerah mereka yang masing-masing. Dengan sistim penghamburan seperti itu, misi dan visi kementerian(pendeta itu bisa menjangkau orang desa dengan mudah. Suatu pertanyaan yang pokok, apakah KTSP akan digunakan secara maksimal dekat sekolah-sekolah untuk memperbaiki potensi-potensi? Itu adalah ingatan harga, KTSP tidak bekerja secara optimal jika tidak ada perbaikan di dalam sikap pejabat-pejabat pendidikan kementerian(pendeta. Tanpa roh dari berubah, KTSP akan merupakan suatu harimau yang ompong.

Ahli kurikulum dari Virginia Polytechnic Institute dan State University Curtis R Finch dan Yohanes R Crunkilton menekankan pentingnya penghamburan di depan implementasi kurikulum. Dengan kata lain, penghamburan efektif adalah wajib di hadapan pengenalan tentang suatu kurikulum. Tiga faktor harus ditaruh pertimbangan di dalam penghamburan suatu kurikulum yang baru; masing-masing dari mereka berhubungan dengan kesiap siagaan dari pemakai dan pendengar, pertimbangan geografis, dan biaya.

Jika penghamburan itu tidak efektip, tak peduli bagaimana baik kurikulum, implementasi nya tidak akan sebaik seperti mengharapkan karena pemakai dan pendengar tidak mendapat informasi cukup. Akhirnya, banyak melompati akan implementasi muka nya. Dari sisi dari pemakai dan pelaksana, sejauh ini, kebanyakan para guru, kepala sekolah dan pejabat-pejabat di Education Agencies masih tidak acuh sekitar inti sari dari 2006 kurikulum. Belum lagi filsafat nya dan metodologi tentangnya implementasi.

Dari aspek geografis, kondisi negeri itu adalah kurang baik untuk suatu perubahan yang cepat seperti itu dari kurikulum. Karena tak peduli bagaimana modern sistem informasi, pada kenyataannya itu akan menjadi sulit untuk mengalahkan kondisi geografis sulit. Sekolah-sekolah di dalam bidang-bidang yang remote, seperti biasanya, akan terlambat dalam mengusahakan informasi mengenai kurikulum. Setiap kali ada suatu perubahan di dalam kurikulum, masyarakat pendidikan akan sibuk dengan berbagai aktivitas yang ilmiah bahwa tidak memberi setiap penerangan/keringanan, sebaliknya, itu jadinya membuat frustasi karena kebingungan nya. Ke samping tentang kebingungan, model dari seperti itu seminar tidak mempunyai rencana tindakan seperti tindak lanjut yang untuk diterapkan oleh para guru.

Mungkin, para pembicara di dalam seminar-seminar bersifat baik di dalam teori tetapi lemah(miskin di dalam implementasi dan kekurangan pengalaman, seperti itu rencana tindakan mereka mempersiapkan hanya suatu pemborosan waktu. Model dari seperti itu aktivitas tidak pernah dievaluasi. Sebaliknya, para guru yang mengambil bagian di dalam aktivitas yang ilmiah tanpa menyiapkan diri mereka akan sibuk membuat catatan selama seminar.

Organisator-organisator perlu menginformasikan tentang persyaratan-persyaratan untuk peserta-peserta. Bagaimanapun, hal ini kelihatannya untuk meloloskan diri dari perhatian mereka. Sebagai hasilnya, tidak ada perubahan dalam bekerja kinerja yang dapat memperbaiki mutu kemampuan dan pendidikan guru. Menurut perubahan kurikulum pengalaman tidak membawa setiap perbaikan antar lembaga; institusi birokrat-birokrat dan pendidikan dan para pekerja.




Sumber bahan

1. Judul : Kurikulum Satuan Pendidikan
Alamat : http://teknologipendidikan.wordpress.com/2006/10/09/kurikulum-satuan-pendidikan/
Penulis : - (sumber : Kompas,Senin, 11 September 2006)
2. Judul : Revisi KBK – Cermin Ketidaksiapan Pemerintah dalam Mengelola Pendidikan
Alamat : http://teknologipendidikan.wordpress.com/2006/03/21/revisi-kbk-cermin-ketidaksiapan-pemerintah-dalam-mengelola-pendidikan/
Penulis : -

3. Judul : Critical Remarks on 2006 Curriculum
Alamat : www.sampoernafoundation.org/content/view/508/103/lang,en/
Penulis : Paulus Mujiran

Peningkatan Kualitas Mutu Pendidikan

BAB I

PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Kualitas pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Ini di buktikan antara lain dengan data UNESCO pada tahun 2000 tentang peringkat Indeks pembangunan manusia ( Human Develelopment Indeks) yaitu komposisi dari peringkat dari pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa Indeks pembangunan manusia Indonesia ( Human Develelopment Indeks) makin menurun. Diantara 174 negara di dunia Indonesia menempati urutan ke 102 pada tahun 1996, ke 99 pada tahun 1997, ke 105 pada tahun 1998, dan 109 pada tahun 1999.
Kualitas pendidikan di Indonesia yang rendah itu juga di tunjukkan data Balitbang tahun 2003 bahwa dari 146.052 SD di Indonesia ternyata hanya 8 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Primary Years Program. Dari 20.918 SMP di Indonesia ternyata juga hanya 8 sekolah yang mendapat pengakuan dunia dalam kategori The Middle Years Program. Dan dari 8.036 SMA ternyata hanya 7 sekolah saja yang mendapat pengakuan dunia dalam kategiri The Diploma Program.
Perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam negeri dan isu-isu mutakhir dari luar negeri yang dapat mempengaruhi kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia merupakan hal-hal yang harus segera ditanggapi dan dipertimbangkan dalam penyusunan kurikulum baru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Pertama, dengan diluncurkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang baru telah membawa implikasi terhadap paradigma pengembangan kurikulum pendidikan dasar dan menengah antara lain pembaharuan dan diversifikasi kurikulum, serta pembagian kewenangan pengembangan kurikulum. Kedua, dengan perkembangan dan perubahan global dalam berbagai aspek kehidupan yang datang begitu cepat telah menjadi tantangan nasional dan menuntut perhatian segera dan serius. Ketiga, dengan kondisi masa sekarang dan kecenderungan di masa yang akan datang perlu dipersiapkan generasi muda termasuk peserta didik yang memiliki kompetensi yang multidimensional.Keempat, dengan mengacu pada ketiga hal tersebut maka pengembangan kurikulum masa sekarang harus dapat mengantisipasi persoalan-persoalan yang mempunyai kemungkinan besar sudah dan/atau akan terjadi. Kurikulum yang dibutuhkan di masa yang akan datang yaitu kurikulum yang berbasis kompetensi. Kompetensi dikembangan untuk memberikan keterampilan dan keahlian bertahan hidup dalam perubahan, pertentangan, ketidakmenenentuan, ketidakpastian, dan kerumitan-kerumitan dalam kehidupan. Kurikulum berbasis kompetensi ditujukan untuk menciptakan tamatan yang kompeten dan cerdas dalam membangun identitas budaya dan bangsanya. Kurikulum ini dapat memberikan dasar-dasar pengetahuan, keterampilan, pengalaman belajar yang membangun integritas sosial, serta membudayakan dan mewujudkan karakter nasional.
Dengan kurikulum yang demikian dapat memudahkan guru yaitu:
belajar mengetahui, belajar melakukan, belajar menjadi diri sendiri,
dan belajar hidup dalam kebersamaanMempersiapkan peserta didik yang memiliki berbagai kompetensi pada hakikatnya merupakan upaya untuk menyiapkan peserta didik yang memiliki kemampuan intelektual, emosional, spiritual, dan sosial yang bermutu tinggi. Dengan memiliki kompetensi semacam itu, peserta didik diharapkan mampu untuk menghadapi dan mengatasi segala macam akibat dari adanya perkembangan dan perubahan yang terjadi
B. Permasalahan
Apa makna data-data tentang rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia itu? Maknanya jelas ada masalah dalam sistem pendidikan di Indonesia . Masalahnya antara lain :
1. Masalah Kurikulum
2. Masalah Metode pembelajaran
3. Masalah Fasilitas atau sarana dan prasarana
4. Masalah Guru atau tenaga pendidik.
5. Masalah Evaluasi pembelajaran






BAB II
PEMBAHASAN

A. MASALAH KURIKULUM

Sejak kemerdekaan tahun 1945, kita telah mengenal 10 macam kurikulum, yaitu kurikulum –kurikulum tahun 1947, 1949, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, dan terakhir 2006. Pergantian kurikulum yang semakin cepat mempengaruhi perubahan politik sehingga dalam waktu 7 tahun setelah merdeka, kita telah menerapkan 3 kurikulum.
Dari segi komponen , kurikulum paling tidak mengandung 5 komponen, yaitu tujuan, materi, metode atau kegiatan belajar, sumber belajar yang terdiri dari alat, bahan, serta komponen penilaian ( evaluasi ). Jika kita menilik dari berbagai jenis kurikulum yang telah diterapkan, maka secara garis besar bahwa ke lima komponen yang tersebut diatas pada dasarnya sudah ada disetiap kurikulum yang pernah diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Namum yang menjadi masalah adalah karena kurikulum tersebut yang bersifat fleksibel, maka pemberlakuan isi kurikulum tersebut memang disesuaikan dengan waktu dan situasi tertentu sesuai dengan tuntutan zaman. Perubahan isi kurikulum inilah yang menjadi masalah, mengingat pemberlakuannya cukup sulit untuk dapat diterapkan serentak secara nasional. Akibatnya hanya wilayah-wilayah tertentu saja yang dapat mengikuti perkembangan kurikulum tersebut, sementara wilayah lain boleh jadi tidak mengenal kurikulum yang sedang diberlakukan, dan tiba-tiba saja sudah ganti kurikulum yang baru.
Secara umum ada beberapa pendekatan perkembangan kurikulum yang pernah diterapkan dalam pengembangan kurikulum yang diterapkan dalam dunia pendidikan di Indonesia. Pendekatan tersebut antara lain :
1. Dari awal kemerdekaan sampai pertengahan tahun 1960-an pendekatan berbasis materi ( content based approach )
2. Akhir tahun 1960 –an sampai dengan pertengahan tahun1980-an pendekatan berbasis kompetensi ( competence based approach ) dan pendekatan belajar tuntas ( mastery learning approach )
3. Akhir tahun 1980-an sampai dengan awal 1990-an pendekatan berbasis out come ( outcome based approach )
4. tengah tahun1990-an sampai dengan sekarang pendekatan berbasis standar ( standard based approach )
Melihat beberapa pendekatan yang telah dilakukan dalam rangka pembenahan kurikulum tersebut dapat ditarik benang merah bahwa penerapan kurikulum hanyalah perubahan disain isi kurikulum tersebut. Dan inilah masalah yang timbul ketika kita akan menerapkan kurikulum yang disesuaikan dengan tuntutan jaman.

B. MASALAH METODE
Bagaimana guru dapat memotivasi seluruh siswa untuk belajar dan membantu saling belajar satu sama lain ?
Bagaimana guru dapat menyusun kegiatan kelas sedemikian rupa sehingga siswa akan berdiskusi, berdebat, dan menggeluti ide-ide, konsep-konsep, dan ketrampilan-ketrampilan sehingga siswa benar-benar memahami ide, konsef, dan ketrampilan tersebut ?
Bagaimana guru dapat memanfaatkan energi sosial seluruh rentang usia siswa yang begitu besar dalam kelas untuk kegiatan-kegiatan pembelajaran yang aktif ?
Bagaimana guru dapat mengorganisasi kelas sehingga siswa saling menjaga satu sama lain, saling mengambil tanggung jawab satu sama lain, dan belajar untuk menghargai satu sama lain terlepas dari suku, tingkat kinerja, atau ketidakmampuan karena cacat ?
Dan masih banyak lagi masalah-masalah yang timbul dalam proses belajar mengajar. jawabannya adalah seorang guru harus memiliki berbagai macam metode mengajar yang inovatif dan konstruktif.
Berbicara masalah metode pengajaran ini, tentu saja akan banyak mendapatkan masalah, karena kebanyakan guru dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa hanya dengan metode yang klasik yaitu metode ceramah dan tanya jawab saja. Akibatnya proses pembelajaran yang terjadi lebih terpokus pada guru. Sementara siswa kurang aktif.



C. Masalah Sarana Fisik
Untuk sarana fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang gedungnya rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan tidak lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi informasi tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak memiliki gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium dan sebagainya.
Data Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052 lembaga yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi baik, 299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau 23,26% mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka kerusakannya lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya. Keadaan ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan persentase yang tidak sama.
D. Masalah Guru
Permasalahan tenaga pendidikan dapat di dekati dengan pendekatan macrocosmics. Pendekatan makrokosmics berarti permasalahan guru di kaji dalam kaitannya factor-faktor laindi luar guru. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas guru antara lain :
1. Rendahnya Kualitas Guru
Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar. Persentase guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan 28,94% (swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA 65,29% (negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49% (negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu sendiri. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3).
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan tetapi, pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Kualitas guru dan pengajar yang rendah juga dipengaruhi oleh masih rendahnya tingkat kesejahteraan guru.
2. Rendahnya Kesejahteraan Guru
Rendahnya kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia) pada pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan serbesar Rp 3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar Rp 1,5 juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta rata-rata Rp 10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di sekolah lain, memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus, pedagang buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya .
Dengan adanya UU Guru dan Dosen, barangkali kesejahteraan guru dan dosen (PNS) agak lumayan. Pasal 10 UU itu sudah memberikan jaminan kelayakan hidup. Di dalam pasal itu disebutkan guru dan dosen akan mendapat penghasilan yang pantas dan memadai, antara lain meliputi gaji pokok, tunjangan yang melekat pada gaji, tunjangan profesi, dan/atau tunjangan khusus serta penghasilan lain yang berkaitan dengan tugasnya. Mereka yang diangkat pemkot/pemkab bagi daerah khusus juga berhak atas rumah dinas.
Tapi, kesenjangan kesejahteraan guru swasta dan negeri menjadi masalah lain yang muncul. Di lingkungan pendidikan swasta, masalah kesejahteraan masih sulit mencapai taraf ideal. Diberitakan Pikiran Rakyat 9 Januari 2006, sebanyak 70 persen dari 403 PTS di Jawa Barat dan Banten tidak sanggup untuk menyesuaikan kesejahteraan dosen sesuai dengan amanat UU Guru dan Dosen (Pikiran Rakyat 9 Januari 2006).
3). Status guru di masyarakat
Kualitas guru tidak bisa dilepaskan dari kompensasi yang mereka terima dan status guru di masyarakat. Namun, kompensasi atau gaji guru tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi suatu Negara. Artinya, perbandingan gaji guru antar negara akan tidak pas kalau ditimbang kemakmuran bangsa tersebut. Gaji guru di Malaysia lebih besardibandingkan dengan gaji guru di Indonesia, secara absolut. Namun, perbandingan akan berbeda manakala kedua gaji tersebut diperbandingkan akan berbeda manakala kedua gaji tersebut diperbandingkan dengan pendapatan perkapita negara masing-masing. Oleh karena itu , bukan hanya gaji yang penting melainkan bagaimana dukungan masyarakat dan pemerintah bagi kesejahteraan dan status guru.
E. MASALAH EVALUASI
Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam komponen kurikulum diatas, bahwa salah satunya adalah terkait dengan masalah evaluasi. Secara umum evaluasi dapat diartikan proses sistematis meliputi pengumpulan informasi ( angka, diskripsi verbal ), analisis, interpretasi informasi untuk mengambil keputusan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan untuk melakukan evaluasi terhadap proses kegiatan belajar mengajar antara lain :
1. Unjuk Kerja (Performance)
2. Penugasan (Proyek / Project)
3. Hasil kerja (Produk / Product)
4. Tes Tertulis (Paper & Pen)
5. Portofolio (Portfolio)
6. Penilaian Sikap
Adapun manfaat dari pelaksanaan evaluasi tersebut adalah :
1. Untuk mengadakan kegiatan remidial
2. Untuk mengadakan kegiatan pengayaan
3. Untuk mengadakan perbaikan program dan kegiatan selanjutnya
Sementara itu ada hal yang perlu diperhatikan ketika kita akan melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang sedang dan telah kita


lakukan yaitu prinsip evaluasi, antara lain :
1. Valid
2. Obyektif
3. Adil
4. Terbuka
5. Bermakna
Berbicara masalah prinsip – prinsip evaluasi ini kadang menimbulkan masalah. Masalah itu antara lain :
a. Terkadang kita sebagai guru kurang memahami apakah instrumen yang kita gunakan untuk melakukan evaluasi tersebut sudah valid atau tidak. Akibatnya hasil evaluasi yang kita lakukan menimbulkan efek yang kurang baik terhadap keputusan yang akan kita ambil terkait dengan hasil evaluasi yang kita lakukan.
b. Sifat objektifitas suatu evaluasi sering larut dengan pertimbangan kemanusiaan terhadap peserta didik. Akibatnya hasil evaluasi tidak menggambarkan prestasi siswa yang sebenarnya.
c. Kurang adilnya guru dalam mengevaluasi peserta didik. Evaluasi yang kita lakukan kadang hanya mengambil aspek-aspek tertentu saja,misalnya hanya aspek knowledgenya saja, sementara aspek afektif dan psikomotoriknya kita abaikan.
d. Seorang guru sering tertutup terhadap hasil evaluasi yang telah dilakukan. Ada sebagian guru kurang senang apabila hasil evaluasi yang dilakukan, siswa dapat menjawab dengan benar semua, sehingga guru tersebut enggan menyampaikan hasil evaluasinya kepada siswa.
e. Seorang guru juga kadang tidak mengerti apa yang hendak ia capai dengan evaluasi yang dia lakukan. Dia hanya sekedar melakukan proses administrasi dalam kegiatan belajar mengajar. Dia tidak mengerti makna sebuah evaluasi itu dilakukan


















BAB III
SOLUSI DAN PEMBAHASAN

A. Solusi masalah mendasar
Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan melakukan perombakan secara menyeluruh yang diawali dari perubahan paradigma pendidikan sekular menjadi paradigma Islam. Ini sangat penting dan utama.
Ibarat mobil yang salah jalan, maka yang harus dilakukan adalah : (1) langkah awal adalah mengubah haluan atau arah mobil itu terlebih dulu, menuju jalan yang benar agar bisa sampai ke tempat tujuan yang diharapkan. Tak ada artinya mobil itu diperbaiki kerusakannya yang macam-macam selama mobil itu tetap berada di jalan yang salah. (2) Setelah membetulkan arah mobil ke jalan yang benar, barulah mobil itu diperbaiki kerusakannya yang bermacam-macam.
Artinya, setelah masalah mendasar diselesaikan, barulah berbagai macam masalah cabang pendidikan diselesaikan, baik itu masalah rendahnya sarana fisik, kualitas guru, kesejahteraan gutu, Kurikulum, kesempatan pemerataan pendidikan, relevansi pendidikan dengan kebutuhan, Metode ,dan evaluasi .
Solusi masalah mendasar itu adalah merombak total asas sistem pendidikan yang ada, dari asas sekularisme diubah menjadi asas memadukan ( terintegrasi ) Imtaq siswa..
Bentuk nyata dari solusi mendasar itu adalah mengubah total UU Sistem Pendidikan yang ada dengan cara menggantinya dengan UU Sistem Pendidikan yang terintegrasi. Hal paling mendasar yang wajib diubah tentunya adalah asas sistem pendidikan. Sebab asas sistem pendidikan itulah yang menentukan hal-hal paling prinsipil dalam sistem pendidikan, seperti tujuan pendidikan dan struktur kurikulum
B. Solusi Masalah-masalah cabang
Seperti diuraikan di atas, selain adanya masalah mendasar, sistem pendidikan di Indonesia juga mengalami masalah-masalah cabang, antara lain :
(1). Masalah Kurikulum,
(2). Masalah metode mengajar guru,
(3). Masalah kesejahteraan guru,
(4). Masalah fasilitas sarana fisik,
(5). Masalah Evaluasi,
(6). Rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan,
Untuk mengatasi masalah-masalah cabang di atas, secara garis besar ada dua solusi yaitu:
Pertama, solusi sistemik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem sosial yang berkaitan dengan sistem pendidikan. Seperti diketahui sistem pendidikan sangat berkaitan dengan sistem ekonomi yang diterapkan. Sistem pendidikan di Indonesia sekarang ini, diterapkan dalam konteks sistem ekonomi kapitalisme (mazhab neoliberalisme), yang berprinsip antara lain meminimalkan peran dan tanggung jawab negara dalam urusan publik, termasuk pendanaan pendidikan.
Maka, solusi untuk masalah-masalah cabang yang ada, khususnya yang menyangkut perihal pembiayaan seperti rendahnya sarana fisik, kesejahteraan guru, dan mahalnya biaya pendidikan berarti menuntut juga perubahan sistem ekonomi yang ada. Akan sangat kurang efektif kita menerapkan sistem pendidikan dalam atmosfer sistem ekonomi kapitalis yang kejam. Maka sistem kapitalisme saat ini sebaiknya dipadukan ekonomi yang menggariskan bahwa pemerintah bersama seluruh stakeholder yang bertanggung jawab terhadap pembiayaan pendidikan .
Kedua, solusi teknis, yakni solusi yang menyangkut hal-hal teknis yang berkait langsung dengan pendidikan. Solusi ini misalnya untuk menyelesaikan masalah kualitas guru dan prestasi siswa.

Disamping itu penguasaan guru atas bidang studi yang akan di ajarkan kepada para siswa merupakan sesuatu yang mutlak sifatnya . Sebab dengan materi bidang studi tidak saja guru akan mentransformasikan ilmu pengetahuan kepada siswa, tetapi lebuh dari pada itu , dengan materi bidang studi itu guru akan menanamkan disiplin, mengembangkan critical thinking, mendorong kemampuan untuk belajar lebih lanjut, dan yang tidak kalah penting adalah menanamkan nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu pengetahuan itu sendiri pada diri siswa. Penguasaan kemampuan guru di bidang metodologi pengajaran juga penting . Tetapi kemampuan metode dalam pengajaran kalau di wujudkan dalam symbol bagaikan angka “0”. Artinya, betapapun banyak dan tingginya kemampuan metodologi pengajaran tidak memiliki nilai apa-apa, apabila tidak di gabungkan dengan angka lain 1,2,3 dan seterusnya sampai 9 yang merupakan wujud dari kemampuan penguasaan bidang studi. Dalam masalah penguasaan materi bidang studi inilah kelemahan guru sangat menonjol. Suatu studi menunjukkan bahwa penguasaan bidang sudi para guru jika di wujudkan dalam skor , terletak pada titik sekitar 7, dan untuk mata pelajaran matematika dan IPA lebih rendah lagi.
Rendahnya penguasaan guru pada bidang studi tidak lepas dari kualitas pendidikan guru dan rekruitmen calon guru. Dapat dicatat bahwa selama ini terdapat tiga bentuk kurikulumyang mencerminkan fase pemikiran di lingkungan lembaga pendidikan guru. Fase pertama ditunjukkan dengan kurikulum pendidikan guru ( IKIP, FKIP, dan STKIP) sebelum kurikulum IKIP 1984. Pada kurun waktu tersebut kurikulum pendidikan guru tidak jauh berbeda dengan kurikulum jurusan yang sama di universitas. Perbedaannya adalah pada mahasiswa pendidikan guru di samping memiliki bekal bidang studi yang memadai, juga ditambah dengan beberapa mata kuliah yang berkaitan dengan didaktik khusus. Pada waktu di berlakukannya kurikulum pendidikan guru 1994, terjadi perubahan yang mendasar. Mahasiswa pendidikan guru harus lebih menekankan pada metode mengajar di bandingkan dengan penguasaan materi bidang studi.
Kualitas guru tidak bisa dilepaskan dari kompensasi yang mereka terima dan status guru di masyarakat. Namun, kompensasi atau gaji guru tidak bisa dilepaskan dari kondisi ekonomi suatu Negara. Artinya, perbandingan gaji guru antar negara akan tidak pas kalau ditimbang kemakmuran bangsa tersebut. Gaji guru di Malaysia lebih besar dibandingkan dengan gaji guru di Indonesia, secara absolut. Namun, perbandingan akan berbeda manakala kedua gaji tersebut diperbandingkan akan berbeda manakala kedua gaji tersebut diperbandingkan dengan pendapatan perkapita negara masing-masing. Oleh karena itu , bukan hanya gaji yang penting melainkan bagaimana dukungan masyarakat dan pemerintah bagi kesejahteraan dan status guru.
Kualitas guru tidak dapat lepas dari manajemen pendidikan. Manajemen pendidikan yang sentralitis, dengan menempatkan pengambilan keputusan yang tidak menguntungkan bagi usaha meningkatkan kualitas kerja guru. Oleh karena itu keputusan tentang bagimana proses belajar mengajar harus di laksanakan yang di tentukan dari atas sulit untuk dapat diterima akal sehat. Sebab, justru guru yang paling tahu apa yang harus di lakukan. Pemberian otonomi yang lebih besar kepada guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar akan memberi rasa tanggung jawab lebih besar kepada guru. Rasa tangung jawab ini mutlak diperlukan dalam meningkatkan kualitas guru.
Dengan pendekatan microcosmics dapat di deskripsikan bahwa keberhasilan guru sangat tergantung pada kemampuan dan dedikasi guru di satu fihak motivasi dan usaha keras dari siswa di fihak lain. Oleh karena itu , guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar harus mampu membangkitkan semangat untuk berprestasi di kalangan siswa. Menurut Boediono ( 1997) terdapat 8 kelompok guru :
1. Ekonomi cukup, mampu dan dedikasi tinggi
2. Ekonomi cukup, mampu, tetapi tidak memiliki dedikasi.
3. Ekonomi cukup, kurang mampu dan tetapi memiliki dedikasi tinggi.
4. Ekonomi cukup, tidak mampu dan tidak memiliki dedikasi
5. Ekonomi kurang, tetapi mampu dan penuh dedikasi.
6. Ekomomi tidak mampu , tetapi mampu, dan tidak memiliki dedikasi
7. Ekonomi kurang, tidak mampu tetapi memiliki dedikasi tinggi
8. Ekonomi kurang, tidak mampu dan tidak memiliki dedikasi.


Maka, solusi untuk masalah-masalah teknis dikembalikan kepada upaya-upaya praktis untuk meningkatkan kualitas sistem pendidikan. Rendahnya kualitas guru, misalnya, di samping diberi solusi peningkatan kesejahteraan, juga diberi solusi dengan membiayai guru melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dan memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kualitas guru. Rendahnya prestasi siswa, misalnya, diberi solusi dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas materi pelajaran, meningkatkan alat-alat peraga dan sarana-sarana pendidikan, dan sebagainya.

PENTINGNYA LANDASAN FILSAFAT ILMU PENDIDIKAN

Pengantar
Terdapat cukup alasan yang baik untuk belajar filsafat, khususnya apabila ada pertanyaan-pertanyaan rasional yang tidak dapat atau seyogyanya tidak dijawab oleh ilmu atau cabang ilmu-ilmu. Misalnya: apakah yang dimaksud dengan pengetahuan, dan/atau ilmu? Dapatkah kita bergerak ke kiri dan kanan di dalam ruang tetapi tidak terikat oleh waktu? Masalah yang dibahas dalam makalah ini adalah sekitar pendidikan dan ilmu pendidikan. Kiranya kegiatan pendidikan bukanlah sekedar gejala sosial yang bersifat rasional semata mengingat kita mengharapkan pendidikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia, lebih-lebih untuk anak-anak kita masing-masing; ilmu pendidikan secara umum tidak begitu maju ketimbang ilmu-ilmu sosial dan biologi tetapi tidak berarti bahwa ilmu pendidikan itu sekedar ilmu atau suatu studi terapan berdasarkan hasil-hasil yang dicapai oleh ilmu-ilmu sosial dan atau ilmu perilaku.

Pertanyaan yang timbul yaitu: apakah teori-teori pendidikan dapat atau telah tumbuh sebagai ilmu ataukah hanya sebagian dari cabang filsafat dalam arti filsafat sosial ataupun filsafat kemanusiaan?

A. Pendidikan Sebagai Kegiatan Ilmu dan Seni
Masalah pendidikan mikro yang menjadi fokus di sini khususnya ialah dasar dan landasan pendidikan serta landasan ilmu pendidikan yaitu manusia atau sekelompok kecil manusia dalam fenomena pendidikan.

1. Pendidikan dalam Praktek Memerlukan teori
Alangkah pentingnya kita berteori dalam praktek di lapangan pendidikan karena pendidikan dalam praktek harus dipertanggungjawabkan. Tanpa teori dalam arti seperangkat alasan dan rasional yang konsisten dan saling berhubungan maka tindakan-tindakan dalam pendidikan hanya didasarkan atas alasan-alasan yang kebetulan, seketika dan aji mumpung. Hal itu tidak boleh terjadi karena setiap tindakan pendidikan bertujuan menunaikan nilai yang terbaik bagi peserta didik dan pendidik. Bahkan pengajaran yang baik sebagai bagian dari pendidikan selain memerlukan proses dan alasan rasional serta intelektual juga terjalin oleh alasan yang bersifat moral. Sebabnya ialah karena unsur manusia yang dididik dan memerlukan pendidikan adalah makhluk manusia yang harus menghayati nilai-nilai agar mampu mendalami nilai-nilai dan menata perilaku serta pribadi sesuai dengan harkat nilai-nilai yang dihayati itu.

Kita baru saja menyaksikan pendidikan di Indonesia gagal dalam praktek berskala makro dan mikro yaitu dalam upaya bersama mendalami, mengamalkan dan menghayati Pancasila. Lihatlah bagaimana usaha nasional besar-besaran selama 20 tahun (1978-1998) dalam P-7 (Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) berakhir kita nilai gagal menyatukan bangsa untuk memecahkan masalah nasional suksesi kepresidenan secara damai tahun 1998, setelah krisis multidimensional melanda dan memporakporandakan hukum dan perekonomian negara mulai pertengahan tahun 1997, bahkan sejak 27 Juli 1996 sebelum kampanye Pemilu berdarah tahun 1997. itu adalah contoh pendidikan dalam skala makro yang dalam teorinya tidak pas dengan Pancasila dalam praktek diluar ruang penataran. Mungkin penatar dan petatar dalam teorinya ber-Pancasila tetapi didalam praktek, sebagian besar telah cenderung menerapkan Pancasila Plus atau Pancasila Minus atau kedua-duanya. Itu sebabnya harus kita putuskan bahwa P-7 dan P-4 tidak dapat dipertanggungjawabkan, setidak-tidaknya secara moral dan sosial. Mari kita kembali berprihatin sesuai ucapan Dr. Gunning yang dikutip Langeveld (1955).
“Praktek tanpa teori adalah untuk orang idiot dan gila, sedangkan teori praktek hanya untuk orang-orang jenius”.
Ini berarti bahwa sebaiknya pendidikan tidak dilakukan kecuali oleh orang-orang yang mampu bertanggung jawab secara rasional, sosial dan moral. Sebaliknya apabila pendidikan dalam praktek dipaksakan tanpa teori dan alasan yang memadai maka hasilnya adalah bahwa semua pendidik dan peserta didik akan merugi. Kita merugi karena tidak mampu bertanggung jawab atas esensi perbutan masing-masing dan bersama-sama dalam pengamalan Pancasila. Pancasila yang baik dan memadai, konsisten antara pengamalan (lahiriah) dan penghayatan (psikologis) dan penataan nilai secara internal. Dalam hal ini kita bukan menyaksikan kegiatan (praktek) pendidikan tanpa dasar teorinya tetapi suatu praktek pendidikan nasional tanpa suatu teori yang baik.

2. Landasan Sosial dan Individual Pendidikan
Pendidikan sebagai gejala sosial dalm kehidupan mempunyai landasan individual, sosial dan cultural. Pada skala mikro pendidikan bagi individu dan kelompok kecil beralngsung dalam skala relatif tebatas seperti antara sesama sahabat, antara seorang guru dengan satu atau sekelompok kecil siswanya, serta dalam keluarga antara suami dan isteri, antara orang tua dan anak serta anak lainnya. Pendidikan dalam skala mikro diperlukan agar manusia sebagai individu berkembang semua potensinya dalam arti perangkat pembawaanya yang baik dengan lengkap. Manusia berkembang sebagai individu menjadi pribadi yang unik yang bukan duplikat pribadi lain. Tidak ada manusia yang diharap mempunyai kepribadian yang sama sekalipun keterampilannya hampir serupa. Dengan adanya individu dan kelompok yang berbeda-beda diharapkan akan mendorong terjadinya perubahan masyarakat dengan kebudayaannya secara progresif. Pada tingkat dan skala mikro pendidikan merupakan gejala sosial yang mengandalkan interaksi manusia sebagai sesama (subyek) yang masing-masing bernilai setara. Tidak ada perbedaan hakiki dalam nilai orang perorang karena interaksi antar pribadi (interpersonal) itu merupakan perluasan dari interaksi internal dari seseorang dengan dirinya sebagai orang lain, atau antara saya sebagai orang kesatu (yaitu aku) dan saya sebagai orang kedua atau ketiga (yaitu daku atau-ku; harap bandingkan dengan pandangan orang Inggris antara I dan me).

Pada skala makro pendidikan berlangsung dalam ruang lingkup yang besar seperti dalam masyarakat antar desa, antar sekolah, antar kecamatan, antar kota, masyarakat antar suku dan masyarakat antar bangsa. Dalam skala makro masyarakat melaksanakan pendidikan bagi regenerasi sosial yaitu pelimpahan harta budaya dan pelestarian nilai-nilai luhur dari suatu generasi kepada generasi muda dalam kehidupan masyarakat. Diharapkan dengan adanya pendidikan dalam arti luas dan skala makro maka perubahan sosial dan kestabilan masyarakat berangsung dengan baik dan bersama-sama. Pada skala makro ini pendidikan sebagai gejala sosial sering terwujud dalam bentuk komunikasi terutama komunikasi dua arah. Dilihat dari sisi makro, pendidikan meliputi kesamaan arah dalam pikiran dan perasaan yang berakhir dengan tercapainya kemandirian oleh peserta didik. Maka pendidikan dalam skala makro cenderung dinilai bersifat konservatif dan tradisional karena sering terbatas pada penyampaian bahan ajar kepada peserta didik dan bisa kehilangan ciri interaksi yang afektif.

3. Teori Pendidikan Memadu Jalinan Antara Ilmu dan Seni
Adanya aspek-aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah seperti disebut tadi mengisyaratkan bahwa manusia dalam fenomena (situasi) pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai sebagai fakta dan manusia sebaai nilai. Tiap manusia bernilai tertentu yuang bersifat luhur sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai individual, sosial dan bobot moral. Itu sebabnya pendidikan dalam praktek adalah fakta empiris yang syarat nilai berhubung interaksi manusia dalam pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat maniusiawi seperti saya atau siswa mendidik diri sendiri atas dasar hubungan pribadi dengan pribadi (higher order interactions) antar individu dan hubungan intrapersonal secara afektif antara saya (yaitu I) dan diriku (diri sendiri yaitu my self atau the self).

Adapun manusia sebagai fakta empriris tentu meliputi berbagai variabel dan hubungan variabel yang terbatas jumlahnya dalam telaah deskriptif ilmu-ilmu. Sedangkan jumlah variabelnya amat banyak dan hubungan-hubungan antara variabel amat kompleks sifatnya apabila pendidik memelihara kualitas interaksinya dengan peserta didik secara orang perorang (personal).
Sepeti penjelasan Phenix tentang siswa belajar aktif (1958:40), yaitu :
“It possible to conceive of teacher and student as one and same person and the self taught person as one who direct his own development through an internal interaction between the self as I and the self as me on the other hand, it is usual for one teacher to teach many students simultaneously. In that even the quality oef the interaction may become generalized and impersonal, or it may, by appropriate means, retain its person to person character.
Artinya sifat manusiawi dari pendidikan (manusia dalam pendidikan) harus terpelihara demi kualitas proses dan hasil pendidikan. Pemeliharaan itulah yang menuntut agar pendidik siap untuk bertindak sewaktu-waktu secara kreatif (berkiat menciptakan situasi yang pas, apabila perlu. Misalnya atas dasar diagnostik klinis) sekalipun tanpa prognosis yang lengkap namun utamanya berdasarkan sikap afektif bersahabat terhadap terdidik. Kreativitas itu didasarkan kecintaan pendidik terhadap tugas mendidik dan mengajar, itu sebabnya gejala atau fenomena pendidikan tidak dapat direduksi sebagai gejala sosial atau gejala komunikasi timbal balik belaka. Apabila ilmu-ilmu sosial atau behavioral mampu menerapkan pendekatan dan metode ilmiah (Pearson, 1900) secara termodifikasi dalam telaah manusia melalui gejala-gejala sosial, apakah ilmu pendidikan harus bertindak serupa untuk mengatasi ketertinggalannya khususnya ditanah air kita ?
Atau seperti dikatakan secara ilmiah oleh NL. Gage (1978:20),
“Scientific method can contribute relationships between variaboles, taken two at a time and even in the form of interactions, three or perhaps four or more at a time. Beyond say four, the usefulness of what science can give the teacher begins to weaken, because teacher cannot apply, at least not without help and not on the run, the more complex interactions. At this point, the teacher as an artist must step in and make clinical, or artistic, judgement about the best ways to teach.”
Pendidik memang harus bertindak pada latar mikro termasuk dalam kelas atau di sekolah kecil, mempengaruhi peserta didik dan itu diapresiasi oleh telaah pendidikan berskala mikro, yaitu oleh paedagogik (teoritis) dan andragogi (suatu pedagogic praktis). Itu sebabnya ilmu pendidikan harus lebih inklusif daripada pengajaran (yang makro) lebih utama daripada mengajar dan mendidik. Bahkan kegiatan pengajaran disekolah memerlukan perencanaan dalam arti penyusunan persiapan mengajar. Dalam pandangan ilmu pendidikan yang otonom, ruang lingkup pengajaran tidak dengan sendirinya mencakup kegiatan mendidik dan mengajar.

Atas dasar pokok-pokok pikiran tentang aspek lahiriah, psikologis dan rohaniah dari manusia dalam fenomena pendidikan maka pendidikan dalam praktek haruslah secara lengkap mencakup bimbingan, mendidik, mengajar dan pengajaran. Dalam fenomena yang normal peserta didik dapat didorong aga belajar aktif melalui bimbingan dan mengajar. Tetapi adakalanya dalam situasi kritis siswa perlu meniru cara guru yang aktif belajar sendiri. Itu sebabnya perundang-undangan pendidikan kita sebenarnya perlu diluruskan, pada satu sisi agar upaya mendidik terjadi dalam keluarga secara wajar, disisi lain agar pengajaran disekolah meliputi dimensi mendidik dan mengajar. Lagi pula bahwa diferensisasi dan fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan perlu ditentukan utamanya harus melakukan pengajaran dan mengelola kurikulum formal sebagai aspek spesialisasinya agar beroperasi efisien. Sedangkan konsep pendidikan yang juga mencakup program latihan (UU. No. 2/1989 Pasal 1 butir ke-1) adalah suatu konstruk yang amat luas dilihat dari perspektif sekolah sebagai lembaga pendidikan formal.

Maka konsep pendidikan yang memerlukan ilmu dan seni ialah proses atau upaya sadar antar manusia dengan sesama secara beradab, dimana pihak kesatu secara terarah membimbing perkembangan kemampuan dan kepribadian pihak kedua secara manusiawi yaitu orang perorang. Atau bisa diperluas menjadi makro sebagai upaya sadar manusia dimana warga maysrakat yang lebih dewasa dan berbudaya membantu pihak-pihak yangkurang mampu dan kurang dewasa agar bersama-sama mencapai taraf kemampuan dan kedewasaan yang lebih baik (Phenix, 1958:13), Buller, 1968:10). Dalam arti ini juga sekolah laboratorium akan memerlukan jalinan praktek ilmu dan praktek seni. Sebaliknya butir 1 pasal 1, UU No. 2 /1989 kiranya kurang tepat sehingga tentu sulit menuntut siswa ber CBSA padahal guru belum tentu aktif belajar, mengingat definisi pendidikan yang makro, yaitu :
“Pendidikan ialah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau latihan bagi peranannya dimasa yang akan datang”.
Kiranya konsep pendidikan yang demikian yang demikian kurang mampu memberi isi kepada tujuan dan semangat Bab XIII UUD 1945 yang merujuk bidang pendidikan sebagai amanah untuk mewujudkan keterkaitan erat antara sistem pengajaran nasional dengan kebudayaan kebangsaan. Karena itu dalam lingkup pendidikan menurut skala mikro dan abstark yang lebih makro, pendidik harus juga peduli dengan aspek etis (moral) dan estetis dari pengalamannya berinteraksi dengan peserta didik selain aspek pengetahuan, kebenaran dan perilaku yang diisyarat-kan oleh konsep pendidikan menurut undang-undang tadi. Hal ini sesuai dengan pandangan Ki Hajar Dewantara (1950) sebagai berikut :
“Taman Siswa mengembangkan suatu cara pendidikan yang tersebut didalam Among dan bersemboyan ‘Tut Wuri Handayani’ (mengikuti sambil mempengaruhi). Arti Tut Wuri aialah mengikuti, namun maknanya ialah mengikuti perkembangan sang anak dengan penuh perhatian berdasarkan cinta kasih dan tanpa pamrih, tanpa keinginan menguasai dan memaksa, dan makna Handayani ialah mempengaruhi dalam arti merangsang, memupuk, membimbing, memberi teladan gar sang anak mengembngkan pribadi masing-masing melalui disiplin pribadi”.
Demikian bagi Ki Hajar Dewantara pendidikan pada skala mikro tidak terlepas dari pendidikan dalam arti makro, bahkan disipilin pribadi adalah tujuan dan cara dalam mencapai disiplin yang lebih luas. Ini berarti bahwa landasan pendidikan terdapat dalam pendidikan itu sendiri, yaitu factor manusianya. Dengan demikian landasan-landasan pendidikan tidak mesti dicari diluar fenomena (gejala) pendidikan termasuk ilmu-ilmu lain dan atau filsafat tertentu dari budaya barat. Oleh karena itu data ilmu pendidikan tidak tergantung dari studi ilmu psikologi., fisiologi, sosiologi, antropologi ataupun filsafat. Lagi pula konsep pengajaran (yang makro) berdasarkan kurikulum formal tidak dengan sendirinya bersifat inklusif dan atau sama dengan mengajar. Bahkan dalam banyak hal pengajaran itu tergantung hasilnya dari kualitas guru mengajar dalam kelas masing-masing. Sudah barang tentu asas Tut Wuri Handayani tidak akan menjadikan pengajaran identik dengan sekedar upaya sadar menyampaikan bahan ajar dikelas kepada rombongan siswa mengingat guru harus berhamba kepada kepentingan siswanya.


B. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan

Uraian diatas mengisyaratkan terhadap dasar-dasar pendidikan bahwa praktek pendidikan sebagai ilmu yang sekedar rangkaian fakta empiris dan eksperimental akan tidak lengkap dan tidak memadai. Fakta pendidikan sebagai gejala sosial tentu sebatas sosialisasi dan itu sering beraspirasi daya serap kognitif dibawah 100 % (bahkan 60 %). Sedangkan pendidikan nilai-nilai akan menuntut siswa menyerap dan meresapi penghayatan 100 % melampaui tujuan-tujuan sosialisasi, mencapai internaliasasi (mikro) dan hendaknya juga enkulturasi (makro). Itulah perbedaan esensial antara pendidikan (yang menjalin aspek kognitif dengan aspek afektif) dan kegiatan mengajar yang paling-paling menjalin aspek kognitif dan psikomotor. Dalam praktek evaluasinya kegiatan pengajaran sering terbatas targetnya pada aspek kognitif. Itu sebabnya diperlukan perbedaan ruang lingkup dalam teori antara pengajaran dengan mengajar dan mendidik.

Adapun ketercapaian untuk daya serap internal mencapai 100 % diperlukan tolong menolong antara sesama manusia. Dalam hal ini tidak ada orang yang selalu sempurna melainkan bisa terjadi kemerosotan yang harus diimbangi dengan penyegaran dan kontrol sosial. Itulh segi interdependensi manusia dalam fenomena pendidikan yang memerlukan kontrol sosial apabila hendak mencegah penurunan pengamalan nlai dan norma dibawah 100%.

1. Pedagogik sebagai ilmu murni menelaah fenomena pendidikan
Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogic (pendidikan anak) dan data andragogi (Pendidikan orang dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein) dan nilai (das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data factual tidak berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi (fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai (yang normative) tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah ilmiah dan telaah filsafah. Tetapi tidak berarti bahwa filsafat menjadi ilmu dasar karena ilmu pendidikan tidak menganut aliran atau suatu filsafat tertentu.

Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogik (teoritis) adalah ilmu yang menysusun teori dan konsep yang praktis serta positif sebab setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau menyerah kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa dengan ilmu praktis lainnya yang mikro dan makro. Seperti kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu pedagogic (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogic praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro) bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah penerapan metode filsafah yang radikal dalam menelaah hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya.

Implikasinya jelas bahwa batang tubuh (body of knowledge) ilmu pendidikan haruslah sekurang-kurangnya secara mikro mencakup :
-. Relasi sesama manusia sebagai pendidik dengan terdidik (person to person relationship)
-. Pentingnya ilmu pendidikan memepergunakan metode fenome-nologi secara kualitatif.
-. Orang dewasa yang berpran sebagai pendidik (edukator)
-. Keberadaan anak manusia sebagai terdidik (learner, student)
-. Tujuan pendidikan (educational aims and objectives)
-. Tindakan dan proses pendidikan (educative process), dan
-. Lingkungan dan lembaga pendidikan (educational institution)
Itulah lingkup pendidikan yang mikroskopis sebagai hasil telaah ilmu murni ilmu pendidikan dalam arti pedagogic (teoritis dan sistematis). Mengingat pendidikan juga dilakukan dalam arti luas dan makroskopis di berbagai lembaga pendidikan formal dan non-formal, tentu petugas tenaga pendidik di lapangan memerlukan masukan yang berlaku umum berupa rencana pelajaran atau konsep program kurikulum untuk lembaga yang sejenis. Oleh karena itu selain pedagogic praktis yang menelaah ragam pendidikan diberbagai lingkungan dan lembaga formal, informal dan non-formal (pendidikan luar sekolah dalam arti terbatas, dengan begitu, batang tubuh diatas tadi diperlukn lingkupnnya sehingga meliputi:
-. Konteks sosial budaya (socio cultural contexs and education)
-. Filsafat pendidikan (preskriptif) dan sejarah pendidikan (deskriptif)
-. Teori, pengembangan dan pembinaan kurikulum, serta cabang ilmu pendidikan lainnya yang bersifat preskriptif.
-. Berbagai studi empirik tentang fenomena pendidikan
-. Berbagai studi pendidikan aplikatif (terapan) khususnya mengenai pengajaran termasuk pengembangan specific content pedagogy.

Sedangkan telaah lingkup yang makro dan meso dari pendidikan, merupakan bidang telaah utama yang memperbedakan antara objek formal dari pedagogic dari ilmu pendidikan lainnya. Karena pedagogic tidak langsung membicarakan perbedaan antara pendidikan informal dalam keluarga dan dalam kelompok kecil lainnya., dengan pendidikan formal (dan non formal) dalam masyarakt dan negara, maka hal itu menjadi tugas dari andragogi dan cabang-cabang lain yang relevan dari ilmu pendidikan. Itu sebabnya dalam pedagogic terdapat pembicaraan tentang factor pendidikan yang meliputi : (a) tujuan hidup, (b) landasan falsafah dan yuridis pendidikan, (c) pengelolaan pendidikan, (d) teori dan pengembangan kurikulum, (e) pengajaran dalam arti pembelajaran (instruction) yaitu pelaksanaan kurikulum dalam arti luas di lembaga formal dan non formal terkait.


2. Telaah ilmiah dan kontribusi ilmu bantu
Bidang masalah yang ditelaah oleh teori pendidikan sebagai ilmu ialah sekitarmanuasia dan sesamanya yang memiliki kesamaan dan keragaman di dalam fenomena pendidikan. Yang menjadi inti ilmu pendidikan teoritis ialah Pedagogik sebagai ilmu mendidik yaitu mengenai tealaah (atau studi) pendidikan anak oleh orang dewasa. Pedagogik teoritis selalu bersifat sistematis karena harus lengkap problematic dan pembahasannya. Tetapi pendidikan (atau pedagogi) diperlukan juga oleh semua orang termasuk orang dewasa danb lanjut usia. Karena itu selain cabang pedagogic teoritis sistematis juga terdapat cabvang-cabang pedagogic praktis, diantaranya pendidikan formal di sekolah, pendidikan informal dalam keluarga, andragogi (pendidikan orang dewasa) dan gerogogi (pendidikan orang lansia), serta pendidikan non-formal sebagai pelengkap pendidikan jenjang sekolah dan pendidikan orang dewasa.
Di dalam menelaah manusia yang berinteraksi di dalam fenomena pendidikan, ilmu pendidikan khususnya pedagogic merupan satu-satunya bidang ilmu yang menelaah interaksi itu secara utuh yang bersifat antar dan inter-pribadi. Untunglah ada ilmu lain yang melakukan telaah atas perilaku manusia sebagai individu. Begitu juga halnya atas telaah interaksi sosial, telaah perilaku kelompok dalam masyarakat, telaah nilai dan norma sebagai isi kebudayaaan, dan seterusnya. Ilmu-ilmu yang melakukan telaah demikian dijadikan berfungsi sebagai ilmu bantu bagi ilmu pendidikan. Diantara ilmu bantu yang penting bagi pedagogic dan androgogi ialah : biologi, psikologi, sosiologi, antropologi budaya, sejarah dan fenomenologi (filsafah).



a. Pendekatan fenomenologi dalam menelaah gejala pendidikan
Pedagogik tidak menggunakan metode deduktif spekulatif dalam investigasinya berdasrkan penjabaran pendirian dasar-dasar filosofis. Pedagogik adalah ilmu pendidikan yang bersifat teoritis dan bukan pedagogic yang filosofis. Pedagogik melakukan telaah fenomenologis aatas fenomena yang bersifat empiris sekalipun bernuansa normative. Seperti dikatakan Langeveld (1955) Pedagogik mempergunakan pendekatan fenomenologis secara kualitatif dalam metode penelitiannya :

Pedagogik bersifat filosofis dan empiris. Berfikir filosofis pada satu siti dan di pihak lain pengalaman dan penyelidikan empiris berjalan bersama-sama. Hubungan-hubungan dan gejala yang menunjukkan cirri-ciri pokok dari objeknya ada yang memaksa menunjuk ke konsekunsi yang filosofis, adapula yang memaksakaan konsekunsi yang empiris karena data yang factual. Pedagogik mewujudkan teori tindakan yang didahului dan diikuti oleh berfikir filosofis. Dalam berfikir filosofis tentang data normative pedagogic didahului dan diikuti oleh oleh pengalaman dan penyelesaikan empiris atas fenomena pendidikan. Itulah fenomena atau gejala pendidikan secraa mikro yang menurut Langevald mengandung keenam komponen yang menjadi inti dari batang tubuh pedagogic.

b. Kontribusi ilmu-ilmu bantu terhadap pedagogic
Ilmu pendidikan khususnya pedagogic dan androgogi tidak menggunakn metoda deskriptif-eksperimental karena manfaatnya terbtas pada pemahaman atas perubahan perilaku siswa. Sedangkan prediksi dan kontrol yang eksperimental diterapakan dan itupun manfaatnya terbatas sekali.
Seperti ditulis oleh Deese, 1963 :
“Prediction and control, then are excellent criteria of understnding aang they also provide us with some of the uses of understanding. They are not always easy to apply, however, and I think little is gained by pretending that they are. It is futile to issue promissory notes about the future applications of the scientific study of education.”

Jadi kurang bermanfaat apabila ilmu pendidikan mempergunakan metode deskriptif-eksperimental terhadap perubahan-perubahan didalam pendidikan secarakuntitatif. Sebaliknya pedagogic dan androgogi harus menjadi ilmu otonom yang menerapkan metode fenomenologi secara kualitatif. Maksudnya ialah agar dapat memperoleh data yang tidak normative (data factual) dalam jumlah seperlunya dari ilmu biologi, psikologi dan ilmu-ilmu sosial. Tetapi ilmu pendidikan harus sedapat mungkin melakukan pengumpulan datanya sendiri langsung dari fenomena pendidikan, baik oleh partisipan-pengamat (ilmuwan) ataupun oleh pendidik sendiri yang juga biasa melakukan analisis apabila situasi itu memaksanya harus bertindak kreatif. Tentu saja untuk itu diperlukan prasyarat penguasaan atas sekurang-kurangnya satu ilmu Bantu dan/atau filsafat umum.


C . Kajian Filsafat Ilmu Pendidikan

Baiklah sekarang kita lihat dasar-dasaar filsafah keilmuan terkait dalam arti dasar ontologis, dasar epistemologis, dan aksiologis, dan dasar antropolgis ilmu pendidikan.
1. Kajian ontologis ilmu pendidikan

Pertama-tama pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari ilmu pendidikan. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu pendidikan melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapokan melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).

Agar pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi pendidikan. Didalam situiasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh, hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan/atau makhluk sosial yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapipada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam hubungan inter dan antar pribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu kegiatan pendidikan yang berskala mikro. Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadiaan sendiri secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai pribai pula, terlpas dari factor umum, jenis kelamin ataupun pembawaanya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian makaa menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the missing link) atas factor hubungan serta didik-pendidik atau antara siswa-guru. Dengan egitu pendidikan hanya akan terjadi secar kuantitatif sekalipun bersifat optimal, misalnya hasil THB summatif, NEM atau pemerataan pendidikan yang kurang mengajarkan demokrasi jadi kurang berdemokrasi. Sedangkan kualitas manusianya belum tentu utuh.

2. Kajian epistemologis ilmu pendidikan
Dasar epistemologis diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagaian dapat dilakukan oleh tenaga pemula namuntelaah atas objek formil ilmu pendidikan memerlukaan pendekatan fenomenologis yang akan menjalin stui empirik dengan studi kualitatif-fenomenologis. Pendekaatan fenomenologis itu bersifat kualitaatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sabagai instrumen pengumpul data secara pasca positivisme. Karena itu penelaaah dan pengumpulan data diarahkan oleh pendidik atau ilmuwan sebagaai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak hnya pemahaman dan pengertian (verstehen, Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang fenomen pendidikan maka vaaliditas internal harus dijaga betul dalm berbagai bentuk penlitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian ex post facto. Inti dasar epistemologis ini adalah agar dapat ditentukan bahaawa dalam menjelaskaan objek formaalnya, telaah ilmu pendidikan tidaak hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebgaai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hnya menggunkaan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).

3. Kajian aksiologis ilmu pendidikan
Kemanfaatan teori pendidikan tidak hanya perlu sebagai ilmu yang otonom tetapi juga diperlukan untuk memberikan dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan manusia secara beradab. Oleh karena itu nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsic sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek mmelalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam pendidikan. Dengan demikian ilmu pendidikan tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis antar pekerjaan ilmu pendidikan dan tugas pendidik sebagi pedagok. Dalam hal ini relevan sekali untuk memperhatikan pendidikan sebagai bidang yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Itu sebabnya pendidikan memerlukan teknologi pula tetapi pendidikan bukanlah bagian dari iptek. Namun harus diakui bahwa ilmu pendidikan belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan kebanyakan ilmu sosial dan ilmu prilaku. Lebih-lebih di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmupendidikan lebih dekat kepada ilmu perilaku kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-sayunyaa metode ilmiah (Kalr Perason,1990).

4. Kajian antropologis ilmu pendidikan
Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalaam upaayanya belajr mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia disekitarnya. Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini maka 3 dasar antropologis berlaku universal tidak hanya (1) sosialitas dan (2) individualitas, melainkan juga (3) moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks dari sistem pengajaran nasional disekolah, tentu akan diperlukan juga dasar antropologis pelengkap yaitu (4) religiusitas, yaaitu pendidik dalam situasi pendidikan sekurangkurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.


D. Perangkat Asumsi Filosofis Pendidikan Guru
Program Pendidikan Guru Berdasarkan Kompetensi (PGBK) dikembangkan bertolak dari perangkat kompetensi yang diperkirakan dipersyaratkan bagi pelaksanaan tugas-tugas keguruan dan kependidikan yang telah ditetapkan dan bermuara pada pendemonstrasian perangkat kompetensi tersebut oleh siswa calon guru setelah mengikuti sejumlah pengalaman belajar.

Perangkat kompetensi yang dimaksud, termasuk proses pencapaiannya, dilandasi oleh asumsi-asumsi filosofis, yaitu pertanyaan-pertanyaan yang dianggap benar, baik atas dasar bukti-bukti empirik, dugaan-dugaan maupun nilai-nilai masyarakat berdasarkan Pancasila. Asumsi-asumsi tersebut merupakan batu ujian di dalam menilai perancangan dan implementasi program dari penyimpangan-penyimpangan pragmatis ataupun dari serangan-serangan konseptual.

Asumsi-asumsi yang dimaksud mencakup 7 bidang yaitu yang berkenaan dengan hakekat-hakekat manusia, masyarakat, pendidikan, subjek didik, guru, belajar-mengajar dan kelembagaan. Tentu saja hasil kerja tersebut diatas perlu dimantapkan dan diverifikasi lebih jauh melalui forum-forum yang sesuai seperti Komisi Kurikulum, Konsorsium Ilmu Kependidikan, LPTK bahkan kalangan yang lebih luas lagi. Hasil rumusan tim pembaharuan pendidikan (1984) dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Hakikat Manusia
a. Manusia sebagai makhluk Tuhan mempunyai kebutuhan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
b. Manusia membutuhkan lingkungan hidup berkelompok untuk mengembangkan dirinya.
c. Manusia mempunyai potensi-potensi yang dapat dikembangkan dan kebutuhan-kebutuhan materi serta spiritual yangharus dipenuhi.
d. Manusia itu pada dasarnya dapat dan harus dididik serta dapat mendidik diri sendiri.

2. Hakikat Masyarakat
a. Kehidupan masyarakat berlandaskan sistem nilai-nilai keagamaan, sosial dan budaya yang dianut warga masyarakat ; sebagian daripada nilai-nilai tersebut bersifat lestari dan sebagian lagi terus berubah sesuai dengan perkembangan ilmu dan teknologi.
b. Masyarakat merupakan sumber nilai-nilai yang memberikan arah normative kepada pendidikan.
c. Kehidupan bermasyarakat ditingkatkan kualitasnya oleh insane-insan yang berhasil mengembangkan dirinya melalui pendidikan.




3. Hakikat Pendidikan
a. Pendidikan merupakan proses interaksi manusiawi yang ditandai keseimbangan antara kedaulatan subjek didik dengan kewibawaan pendidik.
b. Pendidikan merupakan usaha penyiapan subjek didik menghadapi lingkungan yang mengalami perubahan yang semakin pesat.
c. Pendidikan meningkatkan kualitas kehidupoan pribadi dan masyarakat.
d. Pendidikan berlangsung seumur hidup.
e. Pendidikan merupakan kiat dalam menerapkan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan dan teknologi bagi pembentukan manusia seutuhnya.

4. Hakikat Subjek Didik
a. Subjek didik betanggungjawab atas pendidikannya sendiri sesuai dengan wawasan pendidikan seumur hidup.
b. Subjek didik memiliki potensi, baik fisik maupun psikologis yang berbeda-beda sehingga masing-masing subjek didik merupakan insan yang unik.
c. Subjek didik merupakan pembinaan individual serta perlakuan yang manusiawi.
d. Subjek didik pada dasarnya merupakan insane yang aktif menghadapi lingkungan hidupnya.



5. Hakikat Guru dan Tenaga Kependidikan
a. Guru dan tenaga kependidikan merupakan agen pembaharuan.
b. Guru dan tenaga kependidikan berperan sebagai pemimpin dan pendukung nilai-nilai masyarakat.
c. Guru dan tenaga kependidikan sebagai fasilitator memungkinkan terciptanya kondisi yang baik bagi subjek didik untuk belajar.
d. Guru dan tenga kependidikan bertanggungjawab atas tercapainya hasil belajar subjek didik.
e. Guru dan tenaga kependidikan dituntut untuk menjadi conoh dalam pengelolaan proses belajar-mengajar bagi calon guru yang menjadi subjek didiknya.
f. Guru dan tenaga kependidikan bertanggungjawab secara profesi-onal untuk terus-menerus meningkatkatkan kemampuannya.
g. Guru dan tenaga kependidikan menjunjung tinggi kode etik profesional.

6. Hakikat Belajar Mengajar
a. Peristiwa belajar mengajar terjadi apabila subjek didik secara aktif berinteraksi dengan lingkungan belajar yang diatur oleh guru.
b. Proses belajar mengajar yang efektif memerlukan strategi dan media/teknologi pendidikan yang tepat.
c. Program belajar mengajar dirancang dan diimplikasikan sebagai suatu sistem.
d. Proses dan produk belajar perlu memperoleh perhatian seimbang didalam pelaksanaan kegiata belajar-mengajar.
e. Pembentukan kompetensi profesional memerlukan pengintegrasian fungsional antara teori dan praktek serta materi dan metodelogi penyampaian.
f. Pembentukan kompetensi professional memerlukan pengalaman lapangan yang bertahap, mulai dari pengenalan medan, latihan keterampilan terbatas sampai dengan pelaksanaan penghayatan tugas-tugas kependidikan secara lengkap aktual.
g. Kriteria keberhasilan yang utama dalam pendidikan profesional adalah pendemonstrasian penguasaan kompetensi.
h. Materi pengajaran dan sistem penyampaiannya selalu berkembang.

7. Hakekat Kelembagaan
a. LPTK merupakan lembaga pendidikan profesional yang melaksa-nakan pendidikan tenaga kependidikan dan pengembangan ilmu teknologi kependidikan bagi peningkatan kualitas kehidupan.
b. LPTK menyelenggarakan program-program yang relevan dengan kebutuhan masyarakat baik kualitatif maupun kuantitatif.
c. LPTK dikelola dalam suatu sistem pembinaan yang terpadu dalam rangka pengadaan tenaga kependidikan.
d. LPTK memiliki mekanisme balikan yang efektif untuk meningkatkan kualitas layanannya kepada masyarakat secara terus-menerus.
e. Pendidikan pra-jabatan guru merupakan tanggungjawab bersamaantara LPTK dan sekolah-sekolah pemakai (calon) lulusan.


E. Implikasi Landasan Filsafat Pendidikan

1. Implikasi Bagi Guru
Apabila kita konsekuen terhadap upaya memprofesionalkan pekerjaan guru maka filsafat pendidikan merupakan landasan berpijak yang mutlak. Artinya, sebagai pekerja professional, tidaklah cukup bila seorang guru hanya menguasai apa yang harus dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya. Kedua penguasaan ini baru tercermin kompetensi seorang tukang.

Disamping penguasaan terhadap apa dan bagaimana tentang tugasnya, seorang guru juga harus menguasai mengapa ia melakukan setiap bagian serta tahap tugasnya itu dengan cara tertentu dan bukan dengan cara yang lain. Jawaban terhadap pertanyaan mengapa itu menunjuk kepada setiap tindakan seorang guru didalam menunaikan tugasnya, yang pada gilirannya harus dapat dipulangkan kepada tujuan-tujuan pendidikan yang mau dicapai, baik tujuan-tujuan yang lebih operasional maupun tujuan-tujuan yang lebih abstrak. Oleh karena itu maka semua keputusan serta perbuatan instruksional serta non-instruksional dalam rangka penunaian tugas-tugas seorang guru dan tenaga kependidikan harus selalu dapat dipertanggung-jawabkan secara pendidikan (tugas professional, pemanusiaan dan civic) yang dengan sendirinya melihatnya dalm perspektif yang lebih luas dari pada sekedar pencapaian tujuan-tujuan instruksional khusus, lebih-lebih yang dicekik dengan batasan-batasan behavioral secara berlebihan.

Di muka juga telah dikemukakan bahwa pendidik dan subjek didik melakukan pemanusiaan diri ketika mereka terlihat di dalam masyarakat profesional yang dinamakan pendidikan itu; hanyalah tahap proses pemanusiaan itu yang berbeda, apabila diantara keduanya, yaitu pendidik dan subjek didik, dilakukan perbandingan. Ini berarti kelebihan pengalaman, keterampilan dan wawasan yang dimiliki guru semata-mata bersifat kebetulan dan sementara, bukan hakiki. Oleh karena itu maka kedua belah pihak terutama harus melihat transaksi personal itu sebagai kesempatan belajar dan khusus untuk guru dan tenaga kependidikan, tertumpang juga tanggungjawab tambahan menyediakan serta mengatur kondisi untuk membelajarkan subjek didik, mengoptimalkan kesempatamn bagi subjek didik untuk menemukan dirinya sendiri, untuk menjadi dirinya sendiri (Learning to Be, Faure dkk, 1982). Hanya individu-individu yang demikianlah yang mampu membentuk masyarakat belajar, yaitu masyarakat yang siap menghadapi perubahan-perubahan yang semakin lama semakin laju tanpa kehilangan dirinya.

Apabila demikianlah keadaannya maka sekolah sebagai lembaga pendidikan formal hanya akan mampu menunaikan fungsinya serta tidak kehilangan hak hidupnya didalam masyarakat, kalau ia dapat menjadikan dirinya sebagai pusat pembudayaan, yaitu sebagai tempat bagi manusia untuk meningkatkan martabatnya. Dengan perkataan lain, sekolah harus menjadi pusat pendidikan. Menghasilkan tenaga kerja, melaksanakan sosialisasi, membentuk penguasaan ilmu dan teknologi, mengasah otak dan mengerjakan tugas-tugas persekolahan, tetapi yang paling hakiki adalah pembentukan kemampuan dan kemauan untuk meningkatkan martabat kemanusiaan seperti telah diutarakan di muka dengan menggunakan cipta, rasa, karsa dan karya yang dikembangkan dan dibina.

Perlu digarisbawahi di sini adalah tidak dikacaukannya antara bentu dan hakekat. Segala ketentuan prasarana dan sarana sekolah pada hakekatnya adalah bentuk yang diharapkan mewadahi hakekat proses pembudayaan subjek didik. Oleh karena itu maka gerakan ini hanya berhenti pada “penerbitan” prasarana dan sarana sedangkan transaksi personal antara subjek didik dan pendidik, antara subjek didik yang satu dengan subjek didik yang lain dan antara warga sekolah dengan masyarakat di luarnya masih belum dilandasinya, maka tentu saja proses pembudayaan tidak terjadi. Seperti telah diisyaratkan dimuka, pemberian bobot yang berlebihan kepada kedaulatan subjek didikakan melahirkan anarki sedangkan pemberian bobot yang berlebihan kepada otoritas pendidik akan melahirkan penjajahan dan penjinakan. Kedua orientasi yang ekstrim itu tidak akan menghasilkan pembudayaan manusia.


2. Implikasi bagi Pendidikan Guru dan Tenaga Kependidikan

Tidaklah berlebihan kiranya bila dikatakan bahwa di Indonesia kita belum punya teori tentang pendidikan guru dan tenaga kependidikan. Hal ini tidak mengherankan karena kita masih belum saja menyempatkan diri untuk menyusunnya. Bahkan salahsatu prasaratnya yaitu teori tentang pendidikan sebagimaana diisyaratkan pada bagian-bagian sebelumnya, kita masih belum berhasil memantapkannya. Kalau kita terlibat dalam berbagi kegiatan pembaharuan pendidikan selama ini maka yang diperbaharui adalah pearalatan luarnya bukan bangunan dasarnya.

Hal diatas itu dikemukakan tanpa samasekali didasari oleh anggapan bahwa belum ada diantara kita yang memikirkan masalah pendidikan guru itu. Pikiran-pikiran yang dimaksud memang ada diketengahkan orang tetapi praktis tanpa kecuali dapat dinyatakan sebagi bersifat fragmentaris, tidak menyeluruh. Misalnya, ada yang menyarankan masa belajar yang panjang (atau, lebih cepat, menolak program-program pendidikan guru yang lebih pendek terutama yang diperkenalkan didalam beberapa tahun terakhir ini); ada yang menyarankan perlunya ditingkatkan mekanisme seleksi calon guru dan tenaga kependidikan; ada yang menyoroti pentingnya prasarana dan sarana pendidikan guru; dan ada pula yang memusatkan perhatian kepada perbaikan sistem imbalan bagi guru sehingga bisa bersaing dengan jabtan-jabatan lain dimasyarakat. Tentu saja semua saran-saran tersebut diatas memiliki kesahihan, sekurang-kurangnya secara partial, akan tetapi apabila di implementasikan, sebagian atau seluruhnya, belum tentu dapat dihasilkan sistem pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang efektif.

Sebaiknya teori pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang produktif adalah yang memberi rambu-rambu yang memadai didalam merancang serta mengimplementasikan program pendidikan guru dan tenaga kependidikan yang lulusannya mampu melaksanakan tugas-tugas keguruan didalam konteks pendidikan (tugas professional, kemanusiaan dan civic). Rambu-rambu yang dimaksud disusun dengan mempergunakan bahan-bahan yang diperoleh dari tiga sumber yaitu: pendapat ahli, termasuk yang disangga oleh hasil penelitian ilmiah, analisis tugas kelulusan serta pilihan nilai yang dianut masyarakat. Rambu-rambu yang dimaksud yang mencerminkan hasil telaahan interpretif, normative dan kritis itu, seperti telah diutarakan didalam bagian uraian dimuka, dirumuskan kedalam perangkat asumsi filosofis yaitu asumsi-asumsi yang memberi rambu-rambu bagi perancang serta implementasi program yang dimaksud. Dengan demikian, perangkat rambu-rambu yang dimaksud merupakan batu ujian didalam menilai perancang dan implementasi program, maupun didalam “mempertahankan” program dari penyimpngan-penyimpangan pelaksanaan ataupun dari serangan-serangan konseptual.


Penutup

Landasan filsafat pendidikan memberi perspektif filosofis yang seyogyanya merupakan “kacamata” yang dikenakan dalam memandang menyikapi serta melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu maka ia harus dibentuk bukan hanya mempelajari tentang filsafat, sejarah dan teori pendidikan, psikologi, sosiologi, antropologi atau disiplin ilmu lainnya, akan tetapi dengan memadukan konsep-konsep, prinsip-prinsip serta pendekatan-pendekatan-nya kepada kerangka konseptual kependidikan.
Dengan demikian maka landasan filsafat pendidikan harus tercermin didalam semua, keputusan serta perbuatan pelaksanaan tugas-tugas keguruan, baik instruksional maupun non-instruksional, atau dengan pendekatan lain, semua keputusan serta perbuatan guru yang dimaksud harus bersifat pendidikan.

Akhirnya, sebagai pekerja professional guru dan tenaga kependidikan harus memperoleh persiapan pra-jabatan guru dan tenaga kependidikan harus dilandasi oleh seperangkat asumsi filosofis yang pada hakekatnya merupakan penjabaran dari konsep yang lebih tepat daripada landasan ilmiah pendidikan dan ilmu pendidikan.



DAFTAR REFERENSI


Bogdan & Biklen. 1982. Qualitative Research For Education. Boston MA: Allyn Bacon

Campbell & Stanley. 1963. Experimental & Quasi-Experimental Design for Research. Chicago : Rand McNelly

Deese, J. 1978. The Scientific Basis of the Art of Teaching. New York : Colombia University-Teachers College Press

Gordon, Thomas.1974. Teacher Effectiveness Training. NY: Peter h. Wydenpub

Henderson, SVP. 1954. Introduction to Philosophy of Education. Chicago : Univ. of Chicago Press

Hidayat Syarief. 1997. Tantangan PGRI dalam Pendidikan Nasional. Makalah pada Semiloka Nasional Unicef-PGRI. Jakarta: Maret,1997
Highet, G. l954. Seni Mendidik (terjemahan Jilid I dan II), PT.Pembangunan

Kemeny,JG. l959. A Philosopher Looks at Science, New Hersey. NJ: Yale Univ.Press

Ki Hajar Dewantara. l950. Dasar-dasar Perguruan Taman Siswa, Daerah Istimewa Yogyakarta: Majelis Luhur

Ki Suratman. l982. Sistem Among Sebagai Sarana Pendidikam Moral Pancasila. Jakarta: Depdikbud

Kuhn, Ts. l969. The Structure of Scientific Revolution. Chicago:Chicago Univertas.

Langeveld, MJ. l955. Pedagogik Teoritis Sistematis (terjemahan). Bandung: Jemmars

Liem Tjong Tiat. l968. Fisafat Pendidikan dan Pedagogik. Bandung: Jurusan FSP FIP IKIP Bandung