Jumat, 20 Juli 2007

Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan

Kurikulum Satuan Pendidikan
Sejumlah sekolah mulai berusaha menggunakan kurikulum tingkat satuan pendidikan yang mengacu pada Standar Isi yang disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan. Sosialisasi dan pelatihan-pelatihan pun mulai diselenggarakan.
Namun, sejauh ini guru dan sekolah sebagai pelaksana masih meraba-raba penerjemahan kurikulum tersebut. Mereka juga khawatir kekurangan buku pegangan sebagai bahan ajar.
Hasil pantauan ke sejumlah sekolah di Jakarta, pekan lalu, menunjukkan bahwa kesulitan dan kerumitan itu terutama dirasakan oleh guru di sekolah yang tidak sempat merasakan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Tiba-tiba kini mereka diarahkan menjalankan kurikulum tingkat satuan pendidikan.

Belum diterapkan
Selaku Kepala SD Negeri dan swasta belum menerapkan KBK ini ,namun ada beberapa Kepala Sekolah mengaku sudah mendapatkan penjelasan terkait dengan pelaksanaan kurikulum tingkat satuan pendidikan. Begitu pun sejumlah guru dan kepala sekolah yang ditemui terpisah.
“Ada kepala sekolah sempat ikut sosialisasi yang diadakan Suku Dinas Pendidikan Jakarta Barat. Informasinya, di Jakarta pelaksanaan penuh kurikulum tingkat satuan pendidikan mulai tahun ajaran 2007. Akan tetapi, sekolah kami sendiri berkeinginan untuk memulai pelaksanaan kurikulum tersebut pada semester dua tahun ajaran ini supaya sekaligus mempraktikkan penggunaannya.
Dengan adanya kurikulum tingkat satuan pendidikan itu, nantinya setiap sekolah mempunyai kurikulum berbeda-beda. Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) hanya memberikan standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk tiap mata pelajaran, sebagaimana tertuang dalam Standar Isi yang sudah ditetapkan melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional.
Bagi guru-guru di SD Negeri /swasta, perubahan itu cukup menyulitkan mengingat selama ini mereka menggunakan Kurikulum 1994. Sebaliknya, bagi sekolah yang telah menerapkan Kurikulum 2006—lebih dikenal sebagai KBK, kesulitan yang mereka rasakan tidak terlalu besar.
Seorang guru kelas VI SD Negeri, mengakui hal itu. Kalau pada Kurikulum 1994 materi yang akan disampaikan pada tiap mata pelajaran telah dirinci secara detail, pada kurikulum tingkat satuan pendidikan ternyata tidak demikian.
“Yang ada hanya standar kompetensi dan kompetensi dasar sehingga ada yang menyebutnya kurikulum dua kolom. Materi yang akan disampaikan selama satu semester, indikator, dan bahan ajar harus dirancang sendiri oleh sekolah dan guru.
Sebaliknya, bagi guru di SD, yang sebelumnya telah menjalankan KBK. Ia mengaku lebih mudah beradaptasi dengan model kurikulum baru tersebut. Waktu menjalankan KBK, kata seorang guru bahkan telah belajar mengembangkan indikator-indikator pembelajaran dan menyusun langkah-langkah belajar.
Menurut Ketua Federasi Guru Independen Indonesia Suparman, kurikulum tingkat satuan pendidikan membutuhkan pemahaman dan keinginan sekolah untuk mengubah kebiasaan lama, yakni terlalu bergantung pada birokrasi.

Seorang Guru Cari Peluang .
Ketika guru-guru masih sibuk dengan program sosialisasi, langkah maju justru terjadi di salah satu Kota. Guru- guru telah mendeklarasikan penggunaan kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk tahun ajaran 2006/2007.
Penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan merupakan satu peluang bagi sekolah untuk mengurus diri sendiri, tidak hanya untuk manajemen sekolah, tetapi juga secara akademis.
Hanya saja, diakuinya bahwa penerapan kurikulum tingkat satuan pendidikan perlu proses karena sudah terlalu lama sekolah diatur oleh pemerintah. Sekolah butuh sosialisasi dan proses pengalaman. “Pelatihan-pelatihan sudah ada, namun lebih banyak digagas oleh Musyawarah Guru Mata Pelajaran alias MGMP.

Pemerintah Revisi Kurikulum Berbasis Kompetisi
Beberapa sekolah Belum semua melaksanakan Kurikulum berbasis kopetensi (KBK Berita terakhir yang diterima adalah, Pemerintah akan segera merevisi Kurikulum Berbasis Kompetensi dan segera menerbitkan kurikulum baru karena KBK dinilai malah memperberat tugas guru karena membebani guru dengan urusan administratif. Penulisan rapor yang terlalu rumit membuat guru tidak maksimal dalam mengajar.
Selanjutnya pemerintah menyiapkan kurikulum baru yang nantinya ada standar kompetensi lulusan (SKL) sehingga tiga ujian yang akan menentukan kelulusan seorang siswa, yaitu ujian guru, ujian sekolah (US) dan ujian nasional (UN). Kalau UN lulus, tapi US dan ujian guru tidak lulus, siswa yang bersangkutan dinyatakan tidak lulus. Guru menyelenggarakan ujian untuk kelompok mata pelajaran kepribadian, estetika, pendidikan agama, dan pendidikan jasmani/kesehatan. US untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan UN tetap untuk tiga mata pelajaran yakni matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris.
Bila melihat seperti apa kurikulum baru pengganti KBK nanti bukankah akan menambah kebingunan dan kesulitan bagi guru dan juga sekolah nantinya? Dan akhirnya berdampak pada masyarakat dalam hal ini orang tua dan siswa.
Sekolah direpotkan dengan adanya tiga ujian yang akan menentukan kelulusan seorang siswa, yaitu ujian guru, ujian sekolah (US) dan ujian nasional (UN). Otomatis siswa juga akan semakin dihantui perasaan kegagalan karena harus menyiapkan tenaga ekstra menghadapi berbagai ujian yang akan dihadapi. Guru pun semakin dipersulit karena harus menyiapkan pada tugas administratif seperti membuat soal ujian dan otomatis menyeleksinya selain tugas utamanya mengajar yang sudah sangat menyita waktunya.
Sebenarnya menurut saya KBK atau kurikulum apapun itu bagus KALAU semua pihak berperan sebagaimana mestinya. Guru janganlah dibebankan urusan administrasi dan evaluasi. Biar fungsi itu ada pada guru bidang media dan kurikulum (seperti guru BP tapi dia bertanggung jawab pada urusan media dan kurikulum sekolah). Sebab sudah ada jurusan KURIKULUM dan TEKNOLOGI PENDIDIKAN di hampir semua kampus penghasil tenaga kependidikan (baca: ex IKIP dan UPI yang sampai kini perannya belum jelas di dalam sistem pendidikan dan persekolahan).
Saya melihat seharusnya fungsi sekolah seperti rumah sakit, ketika pasien datang ke Unit Gawat Darurat sudah ada perawat, dokter, dikter bedah, ahli anastesi, apoteker yang menangani. Dokter tidak akan melakukan bedah sendiri atau anastesi sendiri karena ada yang bertanggung jawab atas itu. Begitu juga guru, SEHARUSNYA tidak bertanggung jawab terhadap tugas membuatan media, administrasi dan evaluasi karena sudah ada yang bertanggung jawab atas itu.
Sehingga mau seperti apapun kurikulum yang akan dipakai, bila sistem yang akan menanganinya sudah jelas dan tidak bertumpu pada tugas guru saja. Karena permasalahannya bukan pada kururikulum apa yang akan dipakai tapi seberapa besar wewenang dan tanggung jawab guru dalam mengajar, dan seyogyanya guru tak lagi direpotkan dengan tugas pembuatan media, administrasi, dan evaluasi. Guru tinggal hanya mengembangkan gagasan-gagasannya saja selanjutnya dibuat kongkrit oleh para pembuat, administrator, dan evaluator.



Telaah Kritis Dalam Kurikulum 2006

Jakarta (Indonesia media: 04/10/06) Peraturan Pendidikan Nasional Menteri/Pelayan No 22/2006 di Education Content Standard (dan No 23/2006 di Graduates Competency Standard /SKL) perkenalkan Education Unit Curriculum (KTSP) di Indonesia. Seperti secara luas melaporkan, peluncuran awal-awal National Education Ministry KTSP atau lebih baik dikenal sebagai 2006 kurikulum di dalam 2006/2007 tahun akademi. Kurikulum ini memberi otonomi lebih luas untuk masing-masing sekolah untuk mengembangkan kurikulum mereka sendiri dengan ke dalam pelanggan potensi-potensi dari sekolah-sekolah dan daerah sekitarnya

Jauh dari perbaikan ulang KTSP, kurikulum yang baru secara operasional dibentuk/mapan dan yang diterapkan oleh masing-masing kesatuan pendidikan, di mana patokan-patokan petunjuk dan evaluasi masih centralistic. Ini berarti, pada hakekatnya perubahan kurikulum tidak berarti apapun untuk otonomi pendidikan. Roh anti-empowerment masih kuat karena otoritas untuk mempersiapkan kebijakan-kebijakan masih di tangan-tangan pejabat-pejabat National Education Ministry dari tingkatan pusat ke tingkatan yang regional, bukan dalam kekuasaan sekolah-sekolah. Perubahan tidak sungguh-sungguh ini hanya mengacaukan pemilik-pemilik pancang pendidikan. Belum lagi menetapkan suatu kurikulum, menerapkan kurikulum yang ada telah suatu tugas yang berat. Oleh karena itu, banyak orang memanggil(hubungi KTSP sebagai Kurikulum Tidak Siap Pakai (bukan kurikulum ready-to-wear).

Menurut Beane (1986), kurikulum di dalam istilah yang sempit berarti, daftar tunduk kepada diajar kepada para siswa, selagi di dalam perasaan(pengertian yang lebih luas, ke samping dari menjadi daftar tunduk kepada diajar kepada para siswa, aktivitas pelajaran [alat; makna] kurikulum dan belajar pengalaman untuk para siswa.

godaan-godaan Pendidikan centralistic sudah menjadi suatu gagasan pendidikan penyusutan virus dan kreativitas kesatuan di dalam mengembangkan potensi-potensi diri sendiri. Di suatu konteks yang serupa, angin dari perubahan juga terjadi di dalam lingkup pendidikan nasional.

Ironisnya, hanya para guru dari sekolah-sekolah yang dikasihi bahwa menerima penjelasan-penjelasan mengenai 2006 kurikulum. Itu para guru diharapkan untuk memindahkan pengetahuan mereka atas kembali ke daerah-daerah mereka yang masing-masing. Dengan sistim penghamburan seperti itu, misi dan visi kementerian(pendeta itu bisa menjangkau orang desa dengan mudah. Suatu pertanyaan yang pokok, apakah KTSP akan digunakan secara maksimal dekat sekolah-sekolah untuk memperbaiki potensi-potensi? Itu adalah ingatan harga, KTSP tidak bekerja secara optimal jika tidak ada perbaikan di dalam sikap pejabat-pejabat pendidikan kementerian(pendeta. Tanpa roh dari berubah, KTSP akan merupakan suatu harimau yang ompong.

Ahli kurikulum dari Virginia Polytechnic Institute dan State University Curtis R Finch dan Yohanes R Crunkilton menekankan pentingnya penghamburan di depan implementasi kurikulum. Dengan kata lain, penghamburan efektif adalah wajib di hadapan pengenalan tentang suatu kurikulum. Tiga faktor harus ditaruh pertimbangan di dalam penghamburan suatu kurikulum yang baru; masing-masing dari mereka berhubungan dengan kesiap siagaan dari pemakai dan pendengar, pertimbangan geografis, dan biaya.

Jika penghamburan itu tidak efektip, tak peduli bagaimana baik kurikulum, implementasi nya tidak akan sebaik seperti mengharapkan karena pemakai dan pendengar tidak mendapat informasi cukup. Akhirnya, banyak melompati akan implementasi muka nya. Dari sisi dari pemakai dan pelaksana, sejauh ini, kebanyakan para guru, kepala sekolah dan pejabat-pejabat di Education Agencies masih tidak acuh sekitar inti sari dari 2006 kurikulum. Belum lagi filsafat nya dan metodologi tentangnya implementasi.

Dari aspek geografis, kondisi negeri itu adalah kurang baik untuk suatu perubahan yang cepat seperti itu dari kurikulum. Karena tak peduli bagaimana modern sistem informasi, pada kenyataannya itu akan menjadi sulit untuk mengalahkan kondisi geografis sulit. Sekolah-sekolah di dalam bidang-bidang yang remote, seperti biasanya, akan terlambat dalam mengusahakan informasi mengenai kurikulum. Setiap kali ada suatu perubahan di dalam kurikulum, masyarakat pendidikan akan sibuk dengan berbagai aktivitas yang ilmiah bahwa tidak memberi setiap penerangan/keringanan, sebaliknya, itu jadinya membuat frustasi karena kebingungan nya. Ke samping tentang kebingungan, model dari seperti itu seminar tidak mempunyai rencana tindakan seperti tindak lanjut yang untuk diterapkan oleh para guru.

Mungkin, para pembicara di dalam seminar-seminar bersifat baik di dalam teori tetapi lemah(miskin di dalam implementasi dan kekurangan pengalaman, seperti itu rencana tindakan mereka mempersiapkan hanya suatu pemborosan waktu. Model dari seperti itu aktivitas tidak pernah dievaluasi. Sebaliknya, para guru yang mengambil bagian di dalam aktivitas yang ilmiah tanpa menyiapkan diri mereka akan sibuk membuat catatan selama seminar.

Organisator-organisator perlu menginformasikan tentang persyaratan-persyaratan untuk peserta-peserta. Bagaimanapun, hal ini kelihatannya untuk meloloskan diri dari perhatian mereka. Sebagai hasilnya, tidak ada perubahan dalam bekerja kinerja yang dapat memperbaiki mutu kemampuan dan pendidikan guru. Menurut perubahan kurikulum pengalaman tidak membawa setiap perbaikan antar lembaga; institusi birokrat-birokrat dan pendidikan dan para pekerja.




Sumber bahan

1. Judul : Kurikulum Satuan Pendidikan
Alamat : http://teknologipendidikan.wordpress.com/2006/10/09/kurikulum-satuan-pendidikan/
Penulis : - (sumber : Kompas,Senin, 11 September 2006)
2. Judul : Revisi KBK – Cermin Ketidaksiapan Pemerintah dalam Mengelola Pendidikan
Alamat : http://teknologipendidikan.wordpress.com/2006/03/21/revisi-kbk-cermin-ketidaksiapan-pemerintah-dalam-mengelola-pendidikan/
Penulis : -

3. Judul : Critical Remarks on 2006 Curriculum
Alamat : www.sampoernafoundation.org/content/view/508/103/lang,en/
Penulis : Paulus Mujiran

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hello, great blog! take a look at my new blog:

André Benjamim